Selasa, 14 Juni 2016

Mahasiswa Terlena Dalam Zaman

Penulis La Ode Muh Fardan

“Sebuah kemajuan tidak akan terjadi tanpa perubahan, dan orang-orang yang tidak bisa merubah pola pikir mereka, tidak akan merubah apapun”-Bernard Shaw

Setiap zaman mempunyai tantangannya sendiri, cara-cara untuk melakukan perubahan sosial yang dilakukan sekian puluh tahun yang lalu, tidak akan sesuai untuk menggerakkan zaman di masa kini. Kita berbicara tentang lingkup global, dimana lembaran sejarah manusia telah membuktikan bahwa setiap revolusi memiliki strategi dan taktiknya sendiri untuk melakukan perubahan, pola gerakan revolusioner di zaman Rasulullah SAW tentu berbeda dengan pola revolusi Prancis, Revolusi Rusia dan pergerakan kemajuan dunia barat lainnya yang dipelopori oleh Amerika Serikat di masa kini.

Ketika kita berbicara tentang Indonesia, pada lembaran emas sejarahnya, kita akan melihat bahwa dalam setiap perubahan sosial yang terjadi di lingkup nasional, mempunyai tantangan tersendiri dan pola pergerakan masing-masing. Dimana para kaum terpelajarlah yang menjadi pelopornya. Pada masa 1908 pergerakan nasional lebih terfokus kepada kebangkitan kaum terpelajar untuk mulai bersatu dalam gerakan-gerakan yang lebih tersturuktur dan terkordinasi. Kemudian pada masa 1928 para kaum terpelajar mampu memberikan manisfestasi nasionalisme lewat sumpah pemudanya, sehingga tercapailah kemerdekaan pada tahun 1945.

Tantangan itu berlanjut kepada perjuangan mengisi kemerdekaan dengan membangun kekuatan kesejahteraan nasional di masa orde lama, namun pada akhirnya pada tahun 1966 perubahan itu terjadi juga dan kekuasaan berganti ke era orde baru karena orde lama dianggap tidak mampu lagi oleh rakyat dalam membawa kesejahteraan tersebut. Berturut ke tantangan otoritarianisme orde baru, sehingga tercetuslah reformasi di tahun 1998, hingga sampailah kita di era globalisasi dan demokratisasi pada masa ini. Dalam setiap perubahan sosial di setiap zaman di Indonesia, para kaum terpelajarlah yang selalu menjadi garda terdepan merangkai pergerakan, kita mengenal mereka dengan sebutan Mahasiswa.

Mahasiswa di Indonesia adalah golongan elit yang terbatas di tengah-tengah ratusan juta rakyat indonesia, mereka ini jumlahnya segelintir namun mampu menjadi poros perubahan, sebagaimana hakikat aslinya sebagai agent of change dan alat social control. Dengan gerakan mereka yang selalu mengusung moral force, sehingga tepatlah kita menyebut mereka sebagai penyambung nurani rakyat melalui idealisme dan militansi mereka.

Dalam sejarah pergerakan mahasiswa di Indonesia kita mengenal nama-nama mumpuni seperti Sukarno di era pra-kemerdekaan, Soe Hok Gie di era orde lama, Hariman Siregar di era orde baru dan Adian Napitupulu salah seorang tokoh mahasiswa penggerak reformasi. Dengan semangat idealisme dan militansi bersama rekan-rekan seperjuangan yang lain di angkatan masing-masing, mereka mampu memberikan kontribusi nyata dalam setiap pergerakan perubahan sosial di Negeri ini.

Mahasiswa Masa Kini

Pada era demokratisasi di semua lini pada saat ini, sebenarnya dalam hati nurani masing-masing kita menginsyafi bahwa gerakan mahasiswa kontemporer sedang berada di titik nadir. Organisasi mahasiswa saat ini baik itu di lembaga intra maupun ekstra universities, sepertinya enggan turun dari menara gading mereka dan menangkap lebih banyak aspirasi masyarakat di akar rumput, mahasiswa saat ini seakan terpenjara oleh romantisme kejayaan masa lalu dan kemudian alpa bersikap dan akhirnya gamang dalam membaca zaman, sehingga tidak mempunyai kontribusi yang maksimal dalam mengawal era globalisasi dan demokratisasi saat ini.

Adalah sebuah realita bahwa kita sekarang jamak mendapati konflik-konflik internal perebutan struktural kekuasaan di hampir semua lembaga kemahasiswaan, dengan bersembunyi pada kedok dinamika pendewasaan dan pembenaran chauvinisme, pada akhirnya mahasiswa saat ini seakan bereuforia dengan kepentingan kubu masing-masing, saling bertengkar, saling menyalahkan dan saling berjibaku merontokkan satu sama lain.
Konsolidasi organisasi mahasiswa sebagai suatu kesatuan, semakin sulit kita dapatkan.

Selain politik akademik pemerintah melalui sistem kredit semester (SKS) yang membebani mahasiswa dengan urusan perkuliahan yang ketat, juga taktik devide et impera dari intelijen pemerintah yang terbukti mumpuni memecah belah kesatuan gerakan mahasiswa. Seakan-akan warna jas almamater masing-masing adalah sebuah penegasian komunikasi, dan justifikasi kepongahan antara mahasiswa kampus yang satu dengan yang lainnya. Padahal pada dasarnya mahasiswa adalah satu, terlepas dari warna almamater dan perbedaan bendera masing-masing, mahasiswa tetaplah mahasiswa yang merupakan social control dan oposisi abadi terhadap kekuasaan.

Pragmatisme dan kedekatan terhadap kekuasaan seakan mengebiri kewibawaan mahasiswa sebagai tandingan sebanding dari pemerintah, tidak heran jika lazim kita dapati seorang presiden mahasiswa atau seorang ketua umum lembaga mahasiswa, tunduk cium tangan terhadap seorang walikota, gubernur atau presiden yang notabenenya semena-mena terhadap rakyat. Ketika musim pemilihan umum tiba, mereka yang menyebut dirinya mahasiswa malah sibuk mengusung siapa yang pantas untuk duduk, bukannya memberikan solusi tentang apa yang dibutuhkan daerah maupun negara untuk semakin maju dan menyejahterahkan rakyat.

Jangankan berbicara tentang intelektualitas, membaca buku saja mungkin sangat jarang. Mahasiswa saat ini terlalu fokus terhadap pengetahuan, namun terlupa akan hal yang paling penting yaitu, ilmu untuk mengimplementasikan pengetahuan tersebut. Budaya intelektual sudah terganti dengan orientasi struktural, bahkan organisasi mahasiswa yang notabene adalah poros revolusi dan penggerak perubahan sosial, malah menjadi seperti sebuah event organizer dengan proposalnya. Jadilah gerakan mahasiswa saat ini semakin terkapar di tengah-tengah zaman yang terus berjalan.

Tantangan Zaman Kontemporer

Ucapan Bernard Shaw pada awal tulisan ini sangat benar adanya, bahwa kemampuan adaptiflah yang mampu menggerakkan perubahan, diawali tentunya dengan perubahan pola pikir setiap anak zaman. Hal tersebut juga berlaku pada gerakan mahasiswa saat ini, dimana sebelum bergerak merubah zaman saat ini dengan diversifikasi medan perjuangan, terlebih dahulu yang harus dilakukan adalah merubah pola pikir untuk memperbaiki dirinya sendiri. Ada tiga tantangan zaman saat ini bagi gerakan mahasiswa yang menjadi hemat penulis, yaitu Rekulturisasi Intelektualitas; Konsolidasi Pergerakan; dan Revitalisasi Militansi.

Tantangan yang pertama yaitu membumikan kembali budaya-budaya intelektual dalam gerakan mahasiswa, Kegamangan dalam membaca zaman tentunya terjadi karena ketidaktahuan akan medan juang yang akan dilakoni. Sebagai pewaris peradaban, mahasiswa tidak akan mencapai titik didih perjuangannya ketika meninggalkan buku hingga berdebu di rak-rak perpustakaan. Hal ini akan berimbas sangat besar jika ditambah dengan tidak membudayakan diskusi-diskusi formal melalui seminar-seminar, untuk membahas masalah-masalah sosial yang aktual dan memberikan solusinya, diskusi-diskusi informal di warung kopipun sangat penting dilakukan untuk memperkaya khazanah keilmuan dan mempererat keintiman sesama organisasi mahasiswa.

Orientasi struktural tidak sepenuhnya salah ketika itu tidak menjadi tujuan utama. Sebab ketika seseorang pantas, tentu jabatan struktural tersebut akan diberikan. Namun yang menjadi permasalahan adalah dalam proses mencapai posisi tersebut, terkadang seorang aktivis mahasiswa sangat pandai beretorika namun tidak mampu memecahkan masalah sosial, dan memberikan solusi terhadap rakyat. Tidak ada hal paling penting untuk menjawab tantangan ini, untuk merubah pola pikir mahasiswa saat ini, setiap lembaga kemahasiswaan intra maupun ekstra universities sudah harus insyaf dan membudayakan kembali buku-buku untuk dibaca dan dibedah, sehingga pada akhirnya kejumudan berfikir gerakan mahasiswa akan terpecahkan. Merubah pola berfikir bukanlah hal yang mudah, tapi tidak mustahil. Mahasiswa saat ini sudah sebaiknya sadar akan fungsinya sebagai agen-agen perubahan yang mengusung suara rakyat, oleh karena itu mereka harus cerdas dalam segi intelektualitas dan disiplin dalam praksis.

Tantangan yang kedua adalah konsolidasi pergerakan. Tentu saja rekan-rekan mahasiswa saat ini terus bergerak menjalankan fungsi kontrol sosialnya, baik itu melalu advokasi-advokasi kepentingan rakyat, audiensi dan aksi-aksi demonstrasi. Namun fakta yang terjadi di lapangan adalah, bahwa gerakan-gerakan tersebut tidak lagi terkordinir dengan baik. Tidak jarang kita dapati demonstrasi mahasiswa hanya berjarak beberapa kilometer, dengan massa yang jumlahnya juga tidak seberapa dan dengan isu yang diangkat berbeda pula. Ukuran keberhasilan suatu gerakan adalah tentu tercapainya tujuan, bagaimana bisa tujuan gerakan itu tercapai jika isu yang diangkat tidak melewati kajian yang mantap, dan dikordinasikan dengan struktur yang baik, dan massif dalam agitasi dan propoganda?.

Di zaman transisi seperti sekarang, tidak ada lagi common enemy seperti pada saat era orde lama ataupun orde baru. Lawan-lawan gerakan mahasiswa saat ini tersebar dalam penegakan hukum, pemberantasan korupsi, dan penguatan pelayanan publik. Ketika tidak terjadi konsolidasi secara vertikal dari gerakan mahasiswa di pusat hingga ke daerah, jangan berharap kesolidan secara horizontal lintas lembaga mahasiswa akan tercapai. Dalam menghadapi diversifikasi medan perjuangan, konsolidasi-konsolidasi harus terus dilakukan baik secara vertikal maupun secara horizontal. Tidak sebatas dalam kelompok cipayung plus, tetapi juga terhadap seluruh lembaga intra kampus yang ada. Buanglah kepongahan bendera dan almamater, ketika gerakan mahasiswa mulai terpecah belah oleh kepentingan penguasa, maka saat itu juga rakyat akan semakin menderita.

Tantangan yang terakhir adalah revitalisasi militansi dalam setiap jiwa mahasiswa. Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengingatkan kepada segenap rekan-rekan mahasiswa yang membaca tulisan ini bahwa, organisasi mahasiswa bukanlah lembaga sosial dan bukan sebuah event organizer. Tidak perlu menjadi mahasiswapun kita mampu untuk menggalang dana, tidak perlu menjadi mahasiswapun kita mampu untuk merancang sebuah event besar. Tidak mengesampingkan manfaat dan pahala yang dilakukan dalam kegiatan sosial, namun ambigu rasanya ketika kita ingin menegaskan kepedulian sosial, terhadap masyarakat yang terkena bencana melalui penggalangan dana di jalan, namun ketika hak-hak masyarakat diinjak-injak oleh para penguasa, mahasiswa terdiam seribu bahasa.

Soe Hok Gie dalam tulisannya pernah berkata bahwa “di Indonesia, hanya ada dua pilihan. Yaitu menjadi idealis atau apatis”. Ketika mahasiswa saat ini memilih tunduk kepada penguasa, saat itu juga dia menjadi seorang apatis. Semakin mendekat ke kekuasaaan, malah akan mengaburkan antara kepentingan rakyat dan kepentingan pribadi. Dengan iming-iming beberapa lembar rupiah, gerakan mahasiswa bisa ditunggangi, sehingga dia ibarat singa yang ompong. Idealisme dan militansi adalah sepasang kaki kiri dan kanan yang tidak bisa berjalan sempurna jika salah satunya hilang. Maka untuk menghilangkan pragmatisme yang begitu akut menyerang gerakan mahasiswa, militansi dalam setiap jiwa pejuang mahasiswa harus terus dikobarkan, bagi mahasiswa tidak ada kata sempurna terhadap sebuah sistem, sistem tersebut harus terus dievaluasi dan diperbaiki secara terus menerus. Tidak ada lagi sowan cium tangan terhadap penguasa, seharusnya mereka yang tunduk kepada para mahasiswa yang merupakan pengusung suara rakyat.

Sebuah Refleksi

Kawan-kawanku seperjuangan dan sesama mahasiswa, mungkin kita pernah bertemu di forum-forum diskusi atau ketika turun ke jalan, atau bahkan kita tidak pernah bertemu sama sekali. Saya ingin memberikan toa kepada kalian dan kita akan bergiliran orasi menentang penguasa yang semena-mena itu, yang memakan uang rakyat dan yang memperkaya diri mereka sendiri. Sampaikan kepada para anggota dewan yang terhormat, kursi yang mereka duduki dibeli dari uang rakyat, sehingga mereka harus hormat kepada rakyat. Berikan ultimatum kepada para penguasa dimanapun mereka berada, bahwa kita mahasiswa Indonesia tidak sedang mati suri, tetapi tetap hidup dan akan terus hidup meneriakkan pekikan-pekikan suara rakyat ke telinga mereka.

Kepada kalian yang merupakan pewaris peradaban, kepada kalian yang telah lama haus akan kejayaan, kepada kalian yang telah lelah terhadap ketidakadilan, kepada kalian yang menangis melihat rakyat mati karena kelaparan, kepada kalian yang menjadi mahasiswa di masa ini, kita adalah anak zaman demokratisasi masa kini, lawanlah segala kesewenang-wenangan, berjuanglah dimanapun kalian berada, demi keadilan hukum, pemberantasan korupsi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jangan takut, karena kita saudara dan rakyat bersama kita. HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT!

Oleh La Ode Muh Fardan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar