Creative By : La Ode Muhamad Fardan
Jangankan
menjadi Nabi: jadi manusia saja, siapa yang benar-benar lulus? Alangkah
mengagumkan sahabat-sahabat yang gagah menyertakan kata Ulama, Kiai,
Ustadz, Syekh, Maulana, di depan namanya. Yang tanpa hati ragu memakai
surban di kepalanya, mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi
rangkaian butir tasbih di jari-jemarinya. Apakah beliau sangat meyakini
diri, ataukah setiap kali perlu meyakin-yakinkan diri. Adapun ilmuwan,
cendekiawan, seniman, budayawan, Begawan, Undagi, Ulil Abshar, Ulil
Albab, Ulin Nuha, terlebih lagi wadag-wadag seperti Profesor, Doktor,
Profesional, Pejabat, Presiden: di satu sisi itu adalah perjalanan
kebenaran dan kemuliaan, di sisi lain itu adalah "mata'ul ghurur",
perhiasan dunia, serta "la'ibun wa lahwun", permainan dan senda gurau.
Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang
dimaksudkan dulu oleh Peciptanya.
Adakah tangan telah mengerjakan
mendekati gagasan Pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah
mendengar, akal telah mengolah ilmu dan wacana, mulut telah memakan
segala sesuatu yang dulu merupakan visi missi Pihak yang merancangnya.
Kata Islam, seseorang adalah Nabi karena nubuwah. Adalah Rasul karena
risalah. Adalah Wali karena walayah. Dan adalah manusia karena khilafah.
Keempat 'ah' itu milik Allah, dilimpahkan alias diamanahkan kepada
makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia bikin berbeda, dengan Ia
siapkan tingkat 'human and social penetration'yang juga
bertingkat-tingkat. Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan
setiap manusia: tidak relevan, tidak rasional dan tidak realistis dan
a-historis untuk diambil sebagai 'icon' suatu golongan. Begitu engkau
bukan dimaksudkan Tuhan sebagai Malaikat, Iblis, Jin, hewan atau alam,
maka engkaulah Khalifah yang menyandang khilafah. Secara
simbolik-dinamik sering saya memakai idiom persuami-istrian. Sebagaimana
Allah 'memperistri' makhluk-makhlukNya, lelaki 'memperistri' perempuan
dan Pemerintah 'dipersuamikan' oleh rakyat -- maka ummat manusia
dinobatkan menjadi 'suami' bagi alam semesta.
Tugasnya adalah menghimpun
ilmu, melakukan pemetaan, menyusun disain dan methodologi, menggambar
dan mensimulasikan sistem dan managemen untuk memproduksi "rahmatan
lil'alamin".Sejarah ummat manusia di muka bumi telah mencatat
peradaban-peradaban para suami istri itu dengan penumpahan darah yang
terlalu banyak, dusta dan peperangan yang selalu berlebihan, hipokrisi
dan kepalsuan yang bertele-tele, kebodohan ilmu dan kemandegan akal yang
amat memalukan, serta kekerdilan mental dan kebutaan spiritual yang
senantiasa ditutup-tutupi dengan berbagai mode kesombangan yang mewah
namun menggelikan dan menjijikkan. Manusia tidak bisa disebut pernah
sungguh-sungguh, konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan,
demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama mempelajari dirinya
sendiri. Manusia melangkah serabutan, berpikir sepenggal, bertindak
instan, menimbang dengan menipu timbangan, tetapi Tuhan sendiri memang
'terlibat' dalam hal ini: "Inna khalaqnal insana fil'ajal": sesungguhnya
Aku ciptakan manusia cenderung bersikap tergesa-gesa....
Sejarah
sekolah dan universitas tidak pernah benar-benar menyiapkan perjalanan
tafakkur dan ijtihad ummat manusia melalui tahap-tahap pola berpikir
linier, zigzag, spiral hingga thawaf siklikal. Universitas hanya
mewisuda Sarjana Fakultatif meskipun kampusnya bernama universitas.
Belum tuntas kaum muda menjadi murid (murid: orang yang menghendaki
ilmu), dipaksakan naik ke bangku keangkuhan dengan menggelari diri
maha-siswa. Para pembelajar dan pencari ilmu bersemayam di 'koma' --
begitu dia maha, finallah dan titiklah sudah perjalanan ilmiahnya. Di
manakah pintu ilmu, babul 'ilmi?
Di manakah kota raya ilmu, madinatul
'ilmi? Siapa kaum terpelajar yang tertarik pada idiom itu, apalagi
menjelajahinya? Bagi kaum muda Indonesia, cukuplah Thukul bagi mereka.
Sambil tiba-tiba menaiki 'maha'-kendaraan yang bernama demokrasi, world
class society, pilkada pemilu pildacil, public figure, album 'religi',
Majlis Ulama, clean government, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
semakin tak pantas menyandang nama itu, di tengah lautan meluap, gunung
meletus, bumi bergoyang-goyang sampai ke urat syaraf otak manusianya.
Padahal kapasitas sistem syaraf otak manusia itu takkan pernah sanggup
dirumuskan atau dikuasai oleh si manusia sendiri. Padahal
pendaran-pendaran elektromagnetik 'nur' Allah yang bertebaran bertaburan
keseluruh permukaan bumi, memusat menggumpal di seputar bagian atas
ubun-ubun kepala setiap manusia. Abracadabra! Siapakah yang tak sesat di
antara kita? Makan saja sesat sampai ke propinsi kolesterol, asam urat,
jantungan, gagal ginjal, ganti hati dan stroke. Kehidupan berbangsa dan
bernegara kita adalah festival demi festival kesesatan nasional. Pemilu
salah pilih wakil dan pemimpin. 220 juta manusia tersesat ke satu
lorong cita-cita: mau kaya, eksis dan berkuasa. Jalannya beribu-ribu,
profesinya berbagai-bagai, icon-nya berjenis-jenis, namun menuju satu
lorong itu juga. Kesesatan sistem. Kesesatan moral. Kesesatan budaya.
Kesesatan ilmu.
Kesesatan bermacam-macam kesesatan, dengan kadar yang
juga berbeda-beda. Sesat moral atau akhlak. Sesat fiqih atau hukum.
Sesat sosial. Setiap keputusan ekonomi yang menjerumuskan orang banyak,
policy politik yang kontraproduktif terhadap keharusan kemajuan dan
pembangunan, adalah - pinjam bahasa Tuhan - "dhulmun 'adhim", kesesatan
yang nyata. Sesat di segala wilayah: perda, perpres, perdes, di rumah
tangga, perusahaan, di jalanan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis
membentur-benturkan kepala ke lantai, bersujud mohon ampun kepada Allah,
'hanya' karena seekor onta terpeleset di jalan di wilayah
pemerintahannya. Sementara dalam kehidupan kita jumlah penganggur
bertambah puluhan juta tak ada yang merasa bersalah, dilemma
kesengsaraan ribuan penduduk bawah jalan tol belum beres, pemimpinnya
tega nampang mencalonkan diri akan jadi Presiden. Dan sama sekali tak
bisa kita simpulkan bahwa berbagai macam kesesatan yang sedang kita
alami atau sedang menimpa mayoritas bangsa kita kalah berbahaya
dibanding yang kita ributkan dengan kesesatan AlQiyadah. Hanya saja
AlQiyadah menyentuh wilayah 'pamali', 'sirik', 'wadi', 'jimat' hatinya
ratusan ribu orang. Yakni aqidah. Teologi.
Wacana sangat privat yang
sudah lebih mendalam di lubuk jiwa -- meskipun mungkin karena saking
mendalamnya maka susah diaplikasikan keluar diri manusia untuk menjadi
kebaikan sosial bersama. Andaikan AlQiyadah mengajak korupsi, ia pasti
terpuji dan ke mana-mana pasti banyak kawan. Andaikan AlQiyadah memakai
tabir Parpol, segera para pencoleng akan berkumpul mengerumuninya. Sebab
bagi cara berpikir keagamaan umum: parpol, uang, korupsi, keculasan --
itu tidak sealamat dengan Allah dan Nabi Muhammad. Diam-diam saya
pribadi menemukan bahwa alhamdulillah kesesatan-kesesatan hidup saya
tidak diketahui umum atau pihak yang berwajib. Saya mohon dengan sangat
bagi teman-teman yang tahu bahwa selama ini saya mendayung perahu hidup
saya di aliran-aliran sesat karena tidak umum dan bukan mainstream:
hendaklah tak usah melaporkan kepada MUI dan Pemerintah. Itu semua
karena sampai usia menjelang 60 th Allah memperkenankan saya menjadi
penduduk yang tak diperhatikan, tak didengarkan, tak dianggep, selalu
diletakkan di luar garis-garis pemetaan dlam hal apapun saja. Segala
yang saya dan kami lakukan, rekor apapun yang pernah kami capai, ke
benua dan kota-kota besar dunia belahan manapun kami mengibarkan Merah
Putih, dengan berapa ribu dan puluh ribu massapun saya bercengkerama,
prestasi dan kualitas apapun yang kami gapai: saya dan kami tetap di
luar peta. Bahkan rasa syukur tertinggi saya adalah jika kelak saya
masuk sorga - sesudah lewat neraka: orang tetap tidak percaya bahwa saya
masuk sorga. Itulah sebabnya pembicaraan di setiap forum selalu saya
awali dengan kalimat "Jangan percaya pada saya, percayalah sama Allah
dan Muhammad".
Saya merasa bodoh kalau saya membaiat orang, karena
dengan begitu aku yang melegitimasi kedudukanny, sehingga aku akan harus
turut bertanggujng jawab atas apa yang dilakukan oleh orang yang saya
baiat. Sedangkan di hadapan peradilan Tuhan, tidak logis kalau aku bisa
menolong anakku atau aku bisa ditolong istriku. Tidak ada orang disumpah
atau disyahadati, yang ada adalah orang bersumpah atau bersyahadat
dengan dirinya sendiri. Saya tidak pernah mengakui diri saya sendiri,
karena yang substansial adalah pengakuan Allah atasku, jika hal itu
sekarang atau kelak mungkin terjadi. Saya tidak tega dan geli kalau
orang menjadikan saya sebagai panutan, menyebut saya Ustadz, Kiai,
bahkan ada spanduk berbunyi "Selamat Datang KH Emha Ainun Nadjib".
Ya
Allah lucunya. Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk
mengajak orang lain, apalagi untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk
berpikir seperti saya berpikir, untuk menganut apa yang saya anut.
Setiap orang jangan memandang saya. Pandanglah Allah, Muhammad, Yesus,
Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak usah memandang
siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri, sebagaimana
Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu dengan
Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan saya. Semua Nabi dan Rasul,
umpamanya Adam atau Yunus, hanya berani menyebut dirinya dholim,
"Robbana dholamna anfusana", "Inni kuntu minadh-dholimin". Maka siapakah
aku, sehingga mantap untuk tak melihat diriku tersesat? Kesesatan
adalah milikku sehari-hari.
Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa
belum pantas. Andaikanpun aku ini Ahlul Bait keturunan Rasulullah SAW
gabung dengan darah Brawijaya, pasti kututupi sebagaimana kurahasiakan
auratku. Akan tetapi apakah saya menolak keseyogyaan dakwah? O tidak.
Saya seorang Da'i pelaku dakwah. Da'wah artinya panggilan, yad'u artinya
memanggil, pelakunya Da'i. Menyapa. Memanusiakan. Meneguhkan bahwa yang
selain saya itu benar-benar ada. Da'wah itu panggilan pada skala
horisontal dengan sesama makhluk. Kalau vertikal, dari kata yang sama
menjadi du'a, bahasa Indonesianya: doa, kata kerjanya juga yad'u,
subyeknya juga Da'i. Berdoa adalah menyapa Allah. Kalau kita tiap saat
minta-minta terus kepada Tuhan, menurut suatu logika berpikir: tak akan
lebih dikasihi oleh Allah dibanding kalau kita rajin menyapaNya, rajin
'gaul' sama Dia, 'mentuhankan' Tuhan sebagaimana memanusiakan manusia.
Tetangga lebih simpatik kepada kita yang suka menyapanya dibanding yang
sering meminta-minta -- meskipun menurut pemahaman lain Tuhan tidaklah
sama dengan tetangga.
Pinjam puisinya Chairil Anwar: bukan kesesatan
benar menusuk kalbu, keridhaanmu menerima segala tiba, tak setinggi itu
atas debu, dan duka maha tuan bertahta.... Allah sendiri, Masya Allah
memang Maha Menyesatkan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah tak ada
yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan olehNya tak
seorangpun bisa memberinya petunjuk.
Creative By : La Ode Muhamad Fardan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar