Hancurkan
Kebinatanganku _ Creative By : Fardan Ode
Pada setiap raka'at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat,
Anda memerlukan tahap transisi ruku' dari qiyam menuju posisi sujud.
Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung
tanpa ruku'. Ini acuan pertama. Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam
shalat dengan beberapa karakter atau sifat Allah swt. Ini berdasarkan
kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat. Pertama,
tentu saja Allah yang akbar. Lantas ia bagai rabbun. Selanjutnya, rahmân
dan rahîm. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai mâlik. Dan akhirnya
Allah yang `adhîm dan a`lâ. *** Kedudukan Allah sebagai akbar atau Yang
Maha Lebih besar (Ia senantiasa terasa lebih besar, dinamika, tak
terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita)—kita
ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke
tahap berikutnya dalam shalat. Artinya, setiap langkah kesadaran dan
laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang ketidakterhinggaan
kebesaran-Nya, melainkan mengasah kita melalui fungsi-Nya sebagai
rabbun. Sebagai Yang maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh
sayang, Rahmân dan Rahîm. Penuh cinta dalam konteks hubungan individual
Ia dengan Anda, maupun dalam hubungan yang lebih `heterogen' antara ia
dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan dan alam semesta. *** Tapi
jangan lupa Ia adalah Raja Diraja, Ia Mâlik, hakim agung di hari
perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha
Yudikatif. Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh
kehidupan itu hanya dengan diri-Nya yang sendiri, tanpa kita khawatirkan
terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran—yang pada budaya kekuasaan
antara manusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan
sistem trias politica. Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai
`Adhîm dan A`lâ, Yang Maha besar (horisontal) dan Maha tinggi
(vertikal). *** Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita
menyadari-Nya sebagai A`lâ, Yang Maha Tinggi itu tatkala dalam shalat
kita berposisi dan bersikap sebagai binatang. Artinya, ketika kita
menyadari kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita
menelungkup bak binatang berkaki empat. Ketika kita beroperasi setengah
binatang, waktu ruku' bagaikan monyet yang seolah berdiri penuh seperti
manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki—yang kita
sadari adalah Allah sebagai `Adhîm. Dan ketika kita berdiri (qiyâm),
Allah yang kita hadapi adalah Allah Rahmân, Rahîm, dan Mâlik. Binatang
yang ruku' dan sujud' tidak memiliki tradisi intelek dan kesadaran
ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan dengan mâliki yaumiddîn.
Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV,
tidak diadili, tidak masuk sorga atau neraka. Ketika kita menjadi
binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku',
kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka kita ucapkan subhâna
rabbiya...., bukan subhâna rabbinâ.... Subyek `aku', dengan aksentuasi
egoisme, individualisme, egosentrisme, dst. lebih dekat ke kebintangan,
dan itu yang harus kita sujudkan kehadapan Allah swt. Adapun ketika kita
berdiri `qiyâm', kita menjadi manusia kembali. Dan subyek kita ketika
itu bukan lagi menjadi `aku' melainkan `kami'. Artinya, tanda-tanda
eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya, kebersamaannya,
integritas kiri-kanannya. Kalau binatang, secara naluriyah ia
bermasyarakat, tapi oleh Allah tidak dituntut atau ditagih tanggung
jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah yang membedakan
antara binatang dan manusia, itu pulalah yang menghinakan manusia, atau
justru memuliakannya. *** Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita
ber-takbiratul ikhram dan berdiri `sebagai manusia', Allah menyuruh kita
untuk terlebih dahulu menyadari potensi kebinatangan kita dalam sujud,
melalui transisi ruku'. Nanti sesudah sujudnya penuh, silakan langsung
berdiri kembali sebagai manusia. Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi
yang urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan di antara sesama
manusia—ada baiknya semua pihak memperbanyak sujud. Agar supaya
kebinatangan diminimalisir. Dan semoga jangan banyak-banyak yang
bersikap sebagaimana iblis, yang menolak bersujud, karena merasa lebih
tinggi, lebih benar, lebih takabur. Ah, nanti panjang sekali kalau saya
teruskan....[] (Emha Ainun Nadjib/"Keranjang
Sampah"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok) MENANGIS Sehabis sesiangan
bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa
rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnengajak
para santri untuk sesering mungkin bershalat malam. Senantiasa lama
waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka
na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak
perpenghabisan. Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk
melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya
mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..." Banyak di antara jamah yang bahkan
terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar",
berkata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu
dalam al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam
kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan,
melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa
berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'. "Astaghfimllah,
astaghfirullah", geremang turut menangis mulut parasantri. "Jadi,
anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam
mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?" "Bukankah tak ada salahnya
mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu
sendiri, Abah?", bertanya seorang santri. "Kita tidak boleh mengucapkan
kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan". "Belum jelas benar
bagiku, Abah". "Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya
diperkenankan mengucapkan kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah",
geremang mulut para santri terhenti ucapannya, Dan Abah Latif
meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka
a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum
memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami
menyembah, na'budu". "Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan
tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai
umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus
kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam
yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah
di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan.
Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan
pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga,
urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain
untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin
dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak
bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?" "Astaghfirullah,
astaghfirullah", geremang mulut para santri. "Al-Fatihah hanya pantas
diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam
berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak
berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah
secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya
berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta
pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita
lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang
pada hakekatnya melawan Allah". "Astaghfirullah, astaghfirullah",
gemeremang para santri. "Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu
sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke
urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor,
ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah
benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan
kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya
sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena
keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita
kepada-Nya".!
Creative By : Fardan Ode
Tidak ada komentar:
Posting Komentar