Kamis, 28 Juli 2016

Hancurkan Karakter JahatKu

Hancurkan Kebinatanganku _ Creative By : Fardan Ode

Pada setiap raka'at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi ruku' dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung tanpa ruku'. Ini acuan pertama. Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau sifat Allah swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat. Pertama, tentu saja Allah yang akbar. Lantas ia bagai rabbun. Selanjutnya, rahmân dan rahîm. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai mâlik. Dan akhirnya Allah yang `adhîm dan a`lâ. *** Kedudukan Allah sebagai akbar atau Yang Maha Lebih besar (Ia senantiasa terasa lebih besar, dinamika, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita)—kita ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat. Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya, melainkan mengasah kita melalui fungsi-Nya sebagai rabbun. Sebagai Yang maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh sayang, Rahmân dan Rahîm. Penuh cinta dalam konteks hubungan individual Ia dengan Anda, maupun dalam hubungan yang lebih `heterogen' antara ia dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan dan alam semesta. *** Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja, Ia Mâlik, hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha Yudikatif. Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh kehidupan itu hanya dengan diri-Nya yang sendiri, tanpa kita khawatirkan terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran—yang pada budaya kekuasaan antara manusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan sistem trias politica. Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai `Adhîm dan A`lâ, Yang Maha besar (horisontal) dan Maha tinggi (vertikal). *** Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita menyadari-Nya sebagai A`lâ, Yang Maha Tinggi itu tatkala dalam shalat kita berposisi dan bersikap sebagai binatang. Artinya, ketika kita menyadari kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita menelungkup bak binatang berkaki empat. Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu ruku' bagaikan monyet yang seolah berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki—yang kita sadari adalah Allah sebagai `Adhîm. Dan ketika kita berdiri (qiyâm), Allah yang kita hadapi adalah Allah Rahmân, Rahîm, dan Mâlik. Binatang yang ruku' dan sujud' tidak memiliki tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan dengan mâliki yaumiddîn. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak diadili, tidak masuk sorga atau neraka. Ketika kita menjadi binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku', kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka kita ucapkan subhâna rabbiya...., bukan subhâna rabbinâ.... Subyek `aku', dengan aksentuasi egoisme, individualisme, egosentrisme, dst. lebih dekat ke kebintangan, dan itu yang harus kita sujudkan kehadapan Allah swt. Adapun ketika kita berdiri `qiyâm', kita menjadi manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu bukan lagi menjadi `aku' melainkan `kami'. Artinya, tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas kiri-kanannya. Kalau binatang, secara naluriyah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah tidak dituntut atau ditagih tanggung jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah yang membedakan antara binatang dan manusia, itu pulalah yang menghinakan manusia, atau justru memuliakannya. *** Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-takbiratul ikhram dan berdiri `sebagai manusia', Allah menyuruh kita untuk terlebih dahulu menyadari potensi kebinatangan kita dalam sujud, melalui transisi ruku'. Nanti sesudah sujudnya penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai manusia. Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan di antara sesama manusia—ada baiknya semua pihak memperbanyak sujud. Agar supaya kebinatangan diminimalisir. Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis, yang menolak bersujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar, lebih takabur. Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan....[] (Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok) MENANGIS Sehabis sesiangan beker­ja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnenga­jak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam. Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak perpenghabisan. Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat un­tuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..." Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung. "Hidup manusia harus ber­pijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", ber­kata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'. "Astaghfimllah, astaghfirullah", geremang turut menangis mulut para­santri. "Jadi, anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?" "Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri. "Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan". "Belum jelas benar bagiku, Abah". "Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri terhenti ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na'budu". "Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita seba­gai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?" "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri. "Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpeng­habisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah". "Astaghfirullah, astaghfirullah", gemeremang para santri. "Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesang­gupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".!


Creative By : Fardan Ode

Tidak ada komentar:

Posting Komentar