Ibu, Tamparlah Anak-anakmu Ibu, engkau
duduk di hadapanku. Ibu jadilah hakim yang Adil, bagi
anak-anakmu. Jika kutulis ini sebagai buku netral, pengadilan akan
empuk. Setiap kata dari beribu bahasa bisa dipakai untuk mementaskan
kepalsuan. seratus ahli penyusun kalimat bisa memproduksi puluhan atau
ratusan ribu rangkaian kata yang bebas dari kenyataan dan dari diri
penyusunnya sendiri.
Kebebasan itu bisa sekedar berupa keterlepasan
kicauan intelektual dari dunia empiris, tapi bisa juga merupakan
kesenjangan antara semangat ilmu—yang di antara keduanya membentang
kemunafikan, inkonsistensi atau bentuk-bentuk kelamisan lainnya.
Syair
tidak bertanya kepada penyairnya. Ilmu tidak menguak ilmiawannya.
Pembicaraan tidak menuntut pembicaranya. Tulisan tidak meminta bukti
hidup penulisnya. Ide tidak kembali kepada para pelontarnya. Ibu yang
duduk di hadapanku, ini adalah kritik anak-anakmu sendiri. Allah
melaknat orang yang mencari ilmu untuk ilmu. Al-‘ilmu lil-‘ilmi. Ilmu
menjadi batu, dan para pencari ilmu menyembah bau-batu, berhala berhala
yang membeku di perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi serta
informasi. Betapa penting dokumentasi, tetapi ilmu tidak dipersembahkan
kepada museum apapun, melainkan kepada apa yang bisa dikerjakan hari ini
oleh para penulis di lapangan, bukan di kahyangan. Ibu, tamparlah mulut
anak-anakmu.
Orang yang bertahun-tahun mempelajari mana yang benar dan
mana yang salah dalam kehidupan, tidak dijamin memiliki kebenaran mental
untuk mengemukakan sesuatu hal itu benar dan sesuatu hal itu salah.
Tinggi dan luasnya Ilmu pengetahuan seorang cendekiawan tidak
menjanjikan jaminan moral. Artinya, dari kenyataan itu tercermin
ketidaktahuan kemanusiaan. Di dalam diri seseorang tidak terdapat
keterkaitan positif antara, pengetahuan, ilmu, mentalitas dan moralitas.
Creative By : La Ode Muhamad Fardan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar