Rakyat Sebagai
Kekasih Sejati _
Creative/Penulis By : La Ode Muhamad Fardan
Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2014, orang
saling bertanya: ”Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?” Kemudian
mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau
membiarkan nama- nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai.
Atmosfer dan Bintang-bintang berdialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis
nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya,
fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang
resmi maupun serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian
yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak
pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara. Itu berlangsung ya
di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda,
juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum
cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja-
meja pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih: ada yang
berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan
presiden yang sedang berkuasa.
Ada yang menoleh ke kemungkinan mendulang
harapan ke pemimpin tradisional. Ada yang merapat ke pemimpin yang
pernah memimpin dan kembali mencalonkan diri. Atau kepada kemungkinan
lain: pergerakan terjadi ke berbagai arah, lama maupun baru. Dan,
semuanya selalu sangat menggairahkan. Memiliki pola kearifan Rakyat
Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala,
memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun
yang khas dan luar biasa.
Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya,
Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya.
Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat
bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap lebih besar
dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi
kembali, memaklumi, dan memaafkan. Rakyat Indonesia sangat tangguh
sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum
pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat
mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya.
Bahkan, rakyat begitu sabar,
tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut,
dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.
Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan
kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan
perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu
menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya.
Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan
kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu
dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan.
Puncak kekuatan dan cinta rakyat Indonesia, si kekasih sejati, kepada
pemerintahnya, adalah menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga
jangan sampai kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat Indonesia selalu
memelihara suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa
ia sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya.
Rakyat Indonesia selalu
bersikap seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, beserta
seluruh jajaran birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu
menyembunyikan rasa sakit hatinya agar si pemerintah kekasihnya tidak
terpuruk hatinya dan merasa gagal. Lebih dari itu, meski sering kali
rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya lebih banyak
mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan daripada
menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan,
rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu, demi
kelanggengan percintaannya dengan pemerintah si kekasih. Rakyat sangat
menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden yang
terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi
masalah yang mengerikan yang mereka derita.
Rakyat tidak akan pernah
secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapa pun dia,
takkan sanggup berbuat setingkat dengan tuntutan dan kebutuhan obyektif
rakyatnya meski disertai kabinet yang dipilih tanpa beban pembagian
kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi maupun tak resmi.
Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden dan situasi itu
ditelan oleh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang
sangat mulia.
Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam
nurani dan estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan
diri dan tidak merasa dirinya adalah pemimpin sehingga ia tidak
mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman
dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibandingkan pemimpin lain yang merasa
dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.
Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka
tetap memilih salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung
risiko hidup yang tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu
mencerminkan kekuatan hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun
di rumah negaranya.
Creative/Penulis By : La Ode Muhamad Fardan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar