Analisis Perbandingan Gerakan Mahasiswa Indonesia – Jerman [Part I]
[Berhubung saya tidak akan mencetak-fisik hasil penelitian kali ini, kolom ini khusus saya buat untuk mendokumentasikan sekaligus menyebar-luaskan temuan di lapangan, agar, tidak hanya, mangkrak di perpustakaan. Sebuah bangunan megah yang kini ramai mulut penghuni, tapi pikiran tidak se-ramai mulutnya]
Sebuah Pengantar
Suatu hari, dalam wawancara khususnya bersama Majalah Balairung, Benedict Anderson berkata bahwa nasib suatu negara tergantung pada kaum muda. Selama masih ada anak muda, generasi baru yang tidak terlalu teracuni oleh rezim keropos (Orde Baru—red), jangan khawatir.
Antropolog berkebangsaan Irlandia ini memisalkan kaum muda sebagai sekumpulan orang yang “menentukan arah” dimana kapal bernama “nasionalisme” sedang terguncang dan hendak tenggelam. Di sisi lain, jika kaum muda hanya ribut dengan kaumnya sendiri, kapal tersebut bisa hancur. Menurut Ben, Nasionalisme itu obat yang paling baik, sebuah obat yang hanya bisa ditawarkan oleh kaum muda.
Pandangan Benedict Anderson tidak hanya menunjukkan adanya hubungan penting antara nasionalisme dan kaum muda, akan tetapi sosok “yang muda” telah menjadi suatu kaum yaitu sebuah identitas (kelas) yang khas. Jika merujuk pada pernyataan Ben, ke-khas-an tersebut ada pada bagaimana “yang muda” menggerakkan kapal nasionalisme di masa krisis, di saat penumpang-penumpang lain tidak mengerti cara mengemudikan kapal. Dengan kata lain, kaum muda adalah mereka yang siap memegang kendali atas sesuatu (dalam hal ini negara) ketika sang nahkoda dianggap tidak menjalankan perannya dengan baik.
Apa yang dikatakan Ben tentu mengingatkan kita pada beberapa peristiwa yang telah terjadi di negara ini. Rentetan peristiwa “kenegaraan” yang selalu melibatkan narasi pergerakan kaum muda, utamanya mahasiswa. Pertama, bagaimana kaum muda—yang telah mengenal pendidikan itu—mempelopori nasionalisme di tiap daerah, dan berhasil mendeklarasikan terbentuknya sebuah negara baru bernama Indonesia. Kedua, kaum muda juga lah yang berhasil memukul mundur Presiden Soekarno dari kursi jabatan.
Terulang pada peristiwa berikutnya, Presiden Suharto mundur sebagai hasil tuntutan kaum muda pada masa reformasi 98.
Ketiga peristiwa tersebut—selaras dengan apa yang dikatakan oleh Benedict Anderson—mencerminkan adanya hubungan yang nyata antara kaum muda dan suatu perubahan masyarakat, juga tentang siapa kaum muda itu sendiri. Kaum muda yang saya maksud di sini adalah mahasiswa; sebuah identitas yang melekat pada perannya sebagai kaum muda terpelajar, atau yang tengah belajar di perguran tinggi negeri.Seperti yang kita ketahui, kemerdekaan Indonesia dipelopori segolongan anak muda yang sempat merasakan pendidikan di Belanda. Fakta ini secara apik ditulis oleh Harry J. Benda dalam artikel Kaum Inteligensia Timur sebagai Elite Politik.
Gerakan mahasiswa ini lah yang menyebabkan proses evolusi politik terjadi dan tuntutan kemerdekaan Indonesia dilayangkan.
Beralih pada masa pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia mendirikan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk mendidik kaum mudanya agar lebih “terpelajar”. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda ditutup seketika dan diubah dengan sistem pendidikan yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Di UGM sendiri, gerakan mahasiswanya lebih dulu ada dibandingkan organisasi kemahasiswaan secara legal formal. Saat itu, mahasiswa terlibat dalam usaha pembangunan universitas, seperti penataan infrastruktur alat perkuliahan dari Jakarta ke Fakultas Kedokteran dan pembentukan Kedokteran Gigi di Fakultas Teknik Yogyakarta. Beberapa Balai Pendidikan di Klaten, Surabaya, Semarang juga dipindahkan ke Yogyakarta.
Baru lah pada tahun 1950, berbagai gerakan mahasiswa eksternal maupun internal kampus mengorgansir diri untuk membentuk satu bentuk “pemerintahan” politik alamahasiswa. Ialah Majelis Mahasiswa (MM) dan Dewan Mahasiswa (Dema), MM merupakan representasi badan legislatif dan Dema berperan sebagi badan eksekutif. Kedua badan tersebut berada di bawah payung Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (KM UGM) dan disahkan oleh Putusan Sementara Senat Universitet No. 891/Sn/1/52. Dalam laporan tahunan UGM pada 1952, Keluarga Mahasiswa dirikan sebagai bentuk kesatuan seluruh masyarakat Universitet Negeri Gadjah Mada, sedangkan Dema ditetapkan sebagai bentuk perwakilan Keluarga Mahasiwa tersebut yang dalam hal-hal tertentu mengenai kepentingan mahasiswa dapat diminta pendapatnya oleh instansi-instansi universitet, dan juga atas kehendak sendiri dapat mengajukan pendapatnya terhadap hal-hal lain. Seiring berjalannya waktu, Dewan Mahasiswa bertransformasi menjadi BEM KM-UGM terhitung sejak tahun 1991.
Berbeda dengan Indonesia yang baru memiliki institusi pendidikan perguruan tinggi pada abad 19, Jerman telah mendirikan perguruan tinggi sejak abad 14. Tujuan awal didirikannya perguruan tinggi adalah mempersiapkan tenaga penerus bagi keberlangsungan hidup Gereja Katolik Romawi. Hanya ada 4 fakultas yang dibangun saat itu, antara lain Farmasi, Hukum, Teologi, dan Filsafat. Apabila dilihat dari keilmuan yang diajarkan, mahasiswa diproyeksikan untuk menjadi generasi “pemikir” guna memperluas pengaruh kekaisaran ke berbagai wilayah di Eropa.
Salah satu perguruan tinggi di Jerman yang didirikan pada abad 14 adalah Universitas Freiburg, ialah universitas kedua tertua setelah Heidelberg.
Kendati lebih dulu mengawali pendirian perguruan tinggi, kesadaran mahasiswa universitas Freiburg untuk mengorganisir dan membentuk suatu kesatuan (struktur) baru lah tumbuh pada abad 19. Keadaan tersebut dipengaruhi oleh ditetapkannya Baden-Württemberg sebagai sebuah negara bagian Jerman selatan, dan pecahnya Revolusi Perancis dimana mahasiswa merupakan penggerak utama. Keberhasilan Revolusi Perancis salah satu faktor terkuat dalam menumbuhkan kesadaran bahwa mahasiswa merupakan subjek vital bagi terciptanya suatu kondisi “perubahan”.Gerakan Mahasiswa pertama di Universitas Freiburg ialah Verfasste Studierendenschaft (VS) yang kelak berganti nama (dan formatnya) menjadi AStA pada tahun 1977, dan mengalami beberapa perombakan lagi setelahnya.
Verfasste Studierendenschaft atau Serikat Mahasiswa ditetapkan secara sah oleh Pemerintah Baden-Württemberg tahun 1953.Oleh karenanya, Serikat Mahasiswa ini berada di bawah naungan pemerintah Baden-Württemberg dengan model perwakilan mahasiswa dari setiap universitas. VS mempunyai hak penuh untuk terlibat aktif dalam berbagai macam agenda politik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa gerakan mahasiswa saat itu sengaja dipersiapkan untuk mendukung terciptanya demokrasi yang ideal. Institusi pendidikan tidak berperan apa-apa dalam keberlangsungan gerakan mahasiswa, selain mempersiapkan nama-nama untuk mengisi Verfasste Studierendenschaft.
Tahun 1977 Pemerintah Baden-Württemberg mengganti Verfasste Studierendenschaft dengan AStA dan mengembalikan wewenangnya kepada pihak internal kampus. Pada fase ini, AStA sangat bergantung pada universitas khususnya dalam hal pendanaan. Di tahun ini juga kondisi represif menyebabkan AStA hanya boleh menyelenggarakan kegiatan yang berbau seni, akademis, dan dilarang terlibat dalam agenda-agenda politik. Guna melawan kondisi tersebut, lahir lah ü-AStA pada pertengahan akhir tahun 1980. Satu hal yang harus digarisbawahi bahwa para pegiat ü-AStA juga mengisi struktur AStA. Dengan kata lain, perbedaan antara ü-AStA dan AStA hanya ada pada status legal formal. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 30an tahun, dan puncaknya Pemerintah Baden-Württemberg mengakui keberadaan Verfasste Studierendenschaft pada tahun 2012. Sejak saat itu, ü-AStA di Universitas Freiburg membubarkan diri karena tuntutan telah berhasil direalisasikan oleh Pemerintah. Kini, AStA berhak untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan politik dan mendapat dana lebih banyak dari pihak rektorat.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik satu benang merah bahwa BEM KM-UGM dan AStA Uni-Freiburg pada awal kemunculannya, merupakan gerakan mahasiswa di tingkat universitas yang bersinggungan langsung dengan berbagai fenomena politik tingkat nasional. Seiring berjalnnya waktu, gerakan mahasiswa yang tersebar lantas mengorganisir menjadi satu kesatuan “pemerintahan” politik alamahasiswa. Keduanya hendak menjiplak sistem perpolitikan Trias Politica yang dicetuskan oleh Montesquieu, di mana sistem politik terdiri dari 3 elemen Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Namun, penelitian kali ini lebih spesifik membahas peran lembaga eksekutif kemahasiswaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar