Rabu, 04 Januari 2017

Antara Marxisme dan Agama

Penyusun : La Ode Muhamad Fardan °

Akhir-akhir ini kita sering mendengar mengenai isu bangkitnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Beragam alasan terlontar mengenai penolakan PKI, salah satunya karena dianggap ateisme (paham yang tidak percaya akan adanya Tuhan). Apakah benar komunisme yang menggunakan paham marxisme yang digagas oleh Karl Marx dan Friedrich Engels menganggap bahwa agama adalah bagian penghambat dari perubahan corak produksi?

Propaganda anti komunisme memang sedang santer terdengar, dimulai dari ciutan Felix Siauw yang mengatakan bahwa komunisme tidak suka agama, selain itu juga ada seorang Mayor Jendral (Purn) Kivlan Zen yang menantang Goenawan Muhammad karena menganggap pikirannya sudah berkarat saat membahas soal PKI (islammedia.id), dan terakhir yang paling santer adalah FPI yang menyuarakan penolakan terhadap PKI karena dianggap tidak mematuhi hukum agama. Bahkan tanpa saya sadari ternyata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pun menggunakan kalimat “Ateisme dianut oleh semua partai komunis di dunia” untuk contoh kalimat dari lema “Ateisme”. Barangkali sedikit banyak propaganda mengenai komunis (penganut ajaran marxisme) itu ateis (orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan) cukup berhasil.

Apakah tuduhan ateis yang disematkan pada partai-partai komunis berimbas juga pada ajaran marxisme? Jadi, sekali lagi apakah benar paham marxisme menolak keberadaan Tuhan? Hal pertama yang penting kita bahas adalah teori materialisme dialektika dan materialisme historis yang menjadi pokok pemikiran dari marxisme. Secara historis filsafat marxisme adalah filsafat perjuangan kelas proletariat melawan kaum borjuis untuk menumbangkan kapitalisme dan memunculkan sosialisme dari muka bumi ini.

Sebelum jauh ke sana, filsafat materialisme pada dasarnya berpandangan bahwa semua hal yang ada di bumi ini berawal dari materi, berbeda halnya dengan idealisme yang mengatakan bahwa semua hal yang berada di muka bumi ini berasal dari ide. Materialisme digunakan oleh filsafat marxisme untuk menjadi dasar filsafatnya.

Materialisme dialektika secara garis besar menyatakan bahwa semua materi yang ada di bumi ini mengalami pergerakan/dialektika, semisal batu yang ditumbuhi lumut di sungai bukan semata-mata lahir begitu saja, namun ada penyebabnya yaitu udara, air, dll. Sama halnya dengan kesadaran kelas proletariat atas penindasan yang dilakukan kaum borjuis tidak semata-mata datang begitu saja, namun disebabkan oleh materi-materi lain di bumi, semisal manusia.

Jika kita sering mendengar ungkapan bahwa sejarah adalah milik pemenang, sedangkan jika kita mengamati pada umumnya pemenang adalah orang/kelompok yang berkuasa. Marxisme lewat materialisme historis membantah sejarah kelas penguasa, semisal Napoleon Bonaparte menjadi kaisar Prancis yang menguasai hampir seluruh Eropa karena kegeniusan perangnya. Perang Dunia II terjadi karena sosok Hitler dengan pemikiran-pemikiran fasisnya, yang tertuang di buku Mein Kampf. Revolusi Oktober di Rusia adalah karena Lenin seorang dengan kemampuannya memahami Marxisme. Di dalam sejarahnya kaum penguasa, rakyat jelata tidak memainkan peran sama sekali. Mereka bukan faktor. Mereka hanya domba-domba yang mengikuti pemimpin mereka. Dan kalaupun mereka memainkan peran, hanya sebagai sekumpulan orang liar yang melakukan kerusuhan.

Materialisme Historis menjungkirbalikkan sejarah kaum penguasa, bahwa rakyat jelatalah aktor utama di dalam perubahan sejarah. Kalaupun ada figur-figur pemimpin, ia tidak lain adalah pengejawantahan dari kelas-kelas yang ada di dalam masyarakat. Materialisme Historis tidak menyangkal peran individu di dalam sejarah, tetapi meletakkannya dalam konteks kondisi masyarakat yang ada saat itu, dalam hubungannya yang dialektis.

Materialisme dialektik dan materialisme historis memang membicarakan materi sebagai dasarnya, alasannya sifat materi yang bisa diukur, dirasa, diraba oleh alat indra manusia. Kata kunci dari materialisme adalah dapat diukur oleh indra, sedangkan Tuhan tidak bisa diukur oleh indra, hanya bisa diyakini oleh setiap orang. Ranah kajian ada pada marxisme tidak sampai pada Tuhan yang sifatnya bukan materi. Penulis rasa tidak bijak jika kita menganggap ajaran marxisme sebagai ajaran yang anti Tuhan semata-mata hanya karena tidak menyentuh ranah Tuhan dalam kajiannya.

 

Menawarkan Keadilan

Permasalahan ketidakadilan merupakan permasalahan yang harus diselesaikan oleh setiap agama, begitu pula marxisme yang menentang keras ketidakadilan. Semisal ketika kita sering mendengar mengenai riwayat nabi Musa yang melawan kejahatan yang dilakukan oleh Fir’aun dan kemudian lewat kuasa Allah, nabi Musa menenggelamkan Fir’aun berserta bala tentaranya di sungai Nil. Marxisme memandang hal tersebut juga sebagai bentuk ketidakadilan, dapat digambarkan secara historis masa tersebut adalah masa perbudakan di Mesir. Raja Fir’aun selain menganggap dirinya sebagai Tuhan, dia juga melakukan eksploitasi terhadap budak-budak di Mesir.

Menurut penulis perbedaannya hanya pada tataran sosok yang muncul pada cerita nabi Musa tersebut, marxisme menganggap sosok merupakan wujud representasi yang muncul dari kelompok kelas, bukan berarti hanya satu orang (nabi Musa) saja yang melakukan perjuangan meruntuhkan ketidakadilan di Mesir, namun juga didukung oleh kaum budak pada masa itu.

Contoh lain di Indonesia misalnya PKI yang menganut ajaran marxisme yang menjadi momok saat ini karena dianggap anggotanya adalah ateis, secara sejarah menjelaskan hal tersebut adalah salah besar. Tidak heran dalam sejarah pergerakan negara Indonesia pun kita menemukan nama-nama tokoh-tokoh komunis seperti, Haji Misbach, Tan Malaka, Alimin, yang menegaskan keberpihakan nilai-nilai agama Islam dalam arena perjuangkan kemerdekaan negara Indonesia.

Lain halnya dengan paham marxisme yang menjelaskan mengenai teori pencurian nilai lebih yang dilakukan oleh kaum borjuis kepada kaum proletariat merupakan bentuk ketidakadilan. Penulis rasa sama dengan ajaran Islam, bahwa mengambil sesuatu yang bukan hak merupakan perbuatan dosa.

Lalu bagaimana dengan pernyataan Marx bahwa agama itu candu? Penulis rasa dalam memahami sesuatu harus dipahami pula konteksnya. Pada masa itu Karl Marx mengatakan hal tersebut karena memang dogma-dogma agama dijadikan alat untuk melegitimasi aturan-aturan yang menindas rakyat. Saat ini pun menurut penulis masih sama, rakyat masih terlena oleh logika mistika yang membuat rakyat pasrah akan keadaan. Ini pula yang ditolak oleh ajaran marxisme. Semisal ceramah ustaz yang mengatakan “Kamu miskin? Hidup kamu susah terus? Ya, itu karena kamu sedang diuji oleh Allah SWT. Perbanyaklah doa.” atau ceramah-ceramah Mario Teguh yang terlalu banyak berandai-andai dalam menyelesaikan masalah. Bukankah di Islam pun dalam salah satu ayat di Al-Quran menjelaskan bahwa Allah tidak akan pernah mengubah kondisi suatu kaum jika kaum tersebut tidak berusaha mengubahnya.

Jika kita kontekskan dengan masalah di Indonesia, ketika Riau mengalami bencana kabut asap, beberapa umat Islam banyak yang melakukan salat gaib untuk meminta hujan dan menghentikan kebakaran. Hal tersebut menurut penulis tidak salah, namun yang harus digarisbawahi permasalahan kebakaran hutan di Riau bukan semata-mata kehendak Allah melainkan ada materi yang menyebabkan. Korporasi kelapa sawit yang menginginkan penggunaan lahan di sanalah yang menyebabkan hal itu. Lalu kenapa kita terus meminta keajaiban yang diberikan oleh Tuhan namun tidak mencoba mengadili pelaku pembakaran hutan tersebut? Hal yang perlu diingat pula Tuhan sebagai “Prima Causa”, penyebab segala sesuatu di dunia ini terjadi. Tetapi harus diingat pula, terdapat “Secondary Causa” yang juga turut serta menciptakan permasalahan di bumi ini.

Jadi dapat penulis katakan agama (Islam) dengan marxisme punya kesamaan filosofis yaitu pembelaan terhadap kaum tertindas, barangkali yang membedakannya nanti hanya setelah kaum tertindas terbebas dari penindasan. Dalam perjuangan marxisme berbasiskan hubungan relasi produksi, sedangkan agama (Islam) berbasiskan wahyu Tuhan.


#LMF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar