Kamis, 28 Juli 2016

KHYALAN MAHASISWA SALAH JURUSAN

       ANALOGI HIDUP MAHASISWA SALAH JURUSAN  (Sumber Komik Mahasiswa )

Jalan hidup gue di bangku perkuliahan ini ga semulus kepala botak dosen gue dan yang jelas ga semulus pahanya je ka te pat lapan  juga. Keadaan nya udah kayak lalulintas di jakarta,  macet. Kalian pasti pernah ke jakarta kan? pernah kejebak macet di jalan tol daerah pusat ibukota itu? Kalo belom pernah lu harus cobain.

Macet total, padat merayap, sama kayak kuliah gue. Di tingkat ini, otak gue macet dan padat merayap, otak gue berjuang mati-matian buat nerobos lampu merah yang ada didepan gue. Salip kanan, salip kiri, cuma buat sampe cepat ke tujuan akhir gue. Wisuda.

Gue selalu menganalogi kan kehidupan ini sama kayak kita dijalanan. Berangkat pagi-pagi buta dengan harapan di jalan yang nanti kita lewatin ga ada kemacetan, tapi siapa sangka kalo ditengah jalan nanti ternyata lalu lintas yang gue lewatin ga seperti yang gue harapkan. Bagi gue itu normal. Buat ngedapetin apa yang kita mau, ga semudah lu ngeliat paha dada di film horor. Semua pasti ada hambatan, sekalipun itu jalan tol yang katanya bebas habatan dan bebas dari kemacetan.

 Trus harus nyerah? Nggak. Kita tetap harus berjuang untuk mencapai tujuan yang kita mau. Buat kekampus misalnya, lu harus hadapin itu kemacetan yang ada dijalan, jangan malah lari dan cari jalan lain buat cepet sampe ke tempat tujuan. Emang itu lebih mudah, tapi kalo lo sadar, jalan lain itu mungkin aja berputar-putar disitu aja, celakanya kalo jalan itu malah bikin kalian nyasar. Bukan ketempat tujuan semula tapi malah ketempat lain yag lebih parah dari jalan semula.

Di setiap jalan pasti ada persimpangan, sama kayak lu milih jurusan, pilihan nya banyak kan? Karena itu lu harus bisa pinter-pinter memilih jalan mana yang bakal kalian lewatin.

Yakinin dalam hati kalian kalau tujuan itu pasti akan tercapai, entah lewat jalan yang mana. Yang pasti kalian harus punya peta atau GPS super canggih buat nentuin ini. Jangan tergoda sama pilihan orang, jangan mau jadi follower tapi kalian harus jadi yg selalu difollowing orang-orang. Jangan mau jadi penonton tapi jadilah pemain. Sama kayak dikelas, jangan mau dengerin dosen ceramah, tapi lo yang harus ceramahin tuh dosen.

*durhaka*

Emang buat sampai ke tujuan yang kita mau itu ga ada jalan pintas, ga ada jalan memutar. Yang ada cuma jalan panjang yang harus lu hadapin. Jalan yang benar itu ga harus lurus-lurus aja, tapi jalan yang berbelok-belok dan bervariasi itu yang bakal bikin hidup lu lebih menarik. Jangan pernah takut buat ngambil keputusan selama keputusan lu itu bisa lu pertanggung jawabkan, jadi jangan pernah ragu. Kalo nanti diujung jalan lu ketemu persimpangan, lo ga akan ragu lagi buat memilih kemana jalan yang menurut lu bener.

Kalo emang sekarang udah salah jalan terus gimana? Yaudah jalanin aja perjalanan lu itu, nikmatin aja sampai batas kesadaran lo ilang, nanti pasti bakal ada banyak petunjuk arah yang bisa lu dapetin, petunjuk itu bakal nuntun kemana arah lu pergi karena disetiap persimpangan jalan pasti didepan nya bakal ada persimpangan-persimpangan yang lainnya. Nah disitu lo bisa pake tuh petunjuk arah.

Selama gue mendapat title mahasiswa salah jurusan, gue selalu ngerasa gue salah arah. Yang harusnya gue menuruti minat dan bakat gue, tapi malah melenceng ke minat dan bakat orang tua gue. Tapi gue nikmatin perjalanan yang selama ini udah gue tempuh, karena gue selalu berfikir, pilihan orangtua kita ga ada yang salah.

 Ga ada orangtua yang mau menjerumuskan anaknya, dan biasanya proses awalnya memang terlihat salah tapi ketika kita menjalani itu dengan sungguh-sungguh pasti ada nilai yang berarti dari petunjuk orangtua kita itu.

Contoh kasus gue, minat dan bakat gue dibidang seni dan design tapi kedua orang tua gue selalu menunjukkan kearah ekonomi. Awalnya memang gue menganggap ini salah, tapi setelah gue menjalaninya gue baru merasa kalo ilmu ini bermanfaat. Seandainya gue ga masuk akutansi, tentu gue ga bisa menjalankan bisnis yang lagi gue kembangkan ini. Jalannya bisnis ini juga tidak lepas dari peran serta ilmu ekonomi yang gue pelajarin di kampus. 

Ada pepatah yang bilang,”malu bertanya sesat dijalan”. Pepatah ini ada benarnya juga, klo emang penunjuk arah yang diandalin ga cukup buat menuntun jalan lo, jangan ragu bertanya keorang-orang terdekat, apalagi ke orang yang lebih tua karena biasanya mereka punya pengalaman yang lebih dari kita.

*ngelap air mata*

So, menurut gue yah nikmatin aja setiap kilometer yang udah lo tempuh dan akan lo tempuh, karena mungkin lu ga bisa balik lagi ke belakang karena jalan kehidupan itu cuma satu arah bukan dua arah. Jalan terus kedepan, jadikan kilometer yang udah lu lewatin sebagai pelajaran. Tapi saran dari gue hati-hati di kilometer tujuh puluh sampai sembilan puluh, apalagi di tol cipularang, karena disitu.... Angker. (kata orang).

Apa yang kamu yakini, kamu jalani, dan kamu turuti saat ini, tanpa ada dukungan dari orang-orang yang kita sayang terutama orang tua, semua ga bakal berjalan lancar. Restu orang tua, nasihat orang tua kita jadi satu-satunya kunci kesuksesan kita.
Creative By : Fardan Ode

Hancurkan Karakter JahatKu

Hancurkan Kebinatanganku _ Creative By : Fardan Ode

Pada setiap raka'at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi ruku' dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung tanpa ruku'. Ini acuan pertama. Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau sifat Allah swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat. Pertama, tentu saja Allah yang akbar. Lantas ia bagai rabbun. Selanjutnya, rahmân dan rahîm. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai mâlik. Dan akhirnya Allah yang `adhîm dan a`lâ. *** Kedudukan Allah sebagai akbar atau Yang Maha Lebih besar (Ia senantiasa terasa lebih besar, dinamika, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita)—kita ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat. Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya, melainkan mengasah kita melalui fungsi-Nya sebagai rabbun. Sebagai Yang maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh sayang, Rahmân dan Rahîm. Penuh cinta dalam konteks hubungan individual Ia dengan Anda, maupun dalam hubungan yang lebih `heterogen' antara ia dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan dan alam semesta. *** Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja, Ia Mâlik, hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha Yudikatif. Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh kehidupan itu hanya dengan diri-Nya yang sendiri, tanpa kita khawatirkan terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran—yang pada budaya kekuasaan antara manusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan sistem trias politica. Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai `Adhîm dan A`lâ, Yang Maha besar (horisontal) dan Maha tinggi (vertikal). *** Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita menyadari-Nya sebagai A`lâ, Yang Maha Tinggi itu tatkala dalam shalat kita berposisi dan bersikap sebagai binatang. Artinya, ketika kita menyadari kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita menelungkup bak binatang berkaki empat. Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu ruku' bagaikan monyet yang seolah berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki—yang kita sadari adalah Allah sebagai `Adhîm. Dan ketika kita berdiri (qiyâm), Allah yang kita hadapi adalah Allah Rahmân, Rahîm, dan Mâlik. Binatang yang ruku' dan sujud' tidak memiliki tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan dengan mâliki yaumiddîn. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak diadili, tidak masuk sorga atau neraka. Ketika kita menjadi binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku', kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka kita ucapkan subhâna rabbiya...., bukan subhâna rabbinâ.... Subyek `aku', dengan aksentuasi egoisme, individualisme, egosentrisme, dst. lebih dekat ke kebintangan, dan itu yang harus kita sujudkan kehadapan Allah swt. Adapun ketika kita berdiri `qiyâm', kita menjadi manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu bukan lagi menjadi `aku' melainkan `kami'. Artinya, tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas kiri-kanannya. Kalau binatang, secara naluriyah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah tidak dituntut atau ditagih tanggung jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah yang membedakan antara binatang dan manusia, itu pulalah yang menghinakan manusia, atau justru memuliakannya. *** Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-takbiratul ikhram dan berdiri `sebagai manusia', Allah menyuruh kita untuk terlebih dahulu menyadari potensi kebinatangan kita dalam sujud, melalui transisi ruku'. Nanti sesudah sujudnya penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai manusia. Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan di antara sesama manusia—ada baiknya semua pihak memperbanyak sujud. Agar supaya kebinatangan diminimalisir. Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis, yang menolak bersujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar, lebih takabur. Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan....[] (Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok) MENANGIS Sehabis sesiangan beker­ja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnenga­jak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam. Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak perpenghabisan. Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat un­tuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..." Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung. "Hidup manusia harus ber­pijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", ber­kata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'. "Astaghfimllah, astaghfirullah", geremang turut menangis mulut para­santri. "Jadi, anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?" "Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri. "Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan". "Belum jelas benar bagiku, Abah". "Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri terhenti ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na'budu". "Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita seba­gai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?" "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri. "Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpeng­habisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah". "Astaghfirullah, astaghfirullah", gemeremang para santri. "Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesang­gupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".!


Creative By : Fardan Ode

Syair dari Seorang Penulis

Penyairpun Bukan 
Aku hanya tukang 
Mengembarai hutan 
Menggergaji kayu 
Bikin ragangan Mainan pesanan Tuhan 
 
Penyairpun bukan 
Aku hanya pelayan 
Meladeni cara 
Meracik kata 
Mengais rahasia 
Agar tak mati fana 
 
Penyairpun bukan
 Aku hanya penyelam 
Menukiki samudera 
Pulang ke permukaan 
Membawa batu purba 
Untuk melempari cakrawala


Creative By : Fardan Ode

Bercerminlah Manusia

Creative By : La Ode Muhamad Fardan 

Jangankan menjadi Nabi: jadi manusia saja, siapa yang benar-benar lulus? Alangkah mengagumkan sahabat-sahabat yang gagah menyertakan kata Ulama, Kiai, Ustadz, Syekh, Maulana, di depan namanya. Yang tanpa hati ragu memakai surban di kepalanya, mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi rangkaian butir tasbih di jari-jemarinya. Apakah beliau sangat meyakini diri, ataukah setiap kali perlu meyakin-yakinkan diri. Adapun ilmuwan, cendekiawan, seniman, budayawan, Begawan, Undagi, Ulil Abshar, Ulil Albab, Ulin Nuha, terlebih lagi wadag-wadag seperti Profesor, Doktor, Profesional, Pejabat, Presiden: di satu sisi itu adalah perjalanan kebenaran dan kemuliaan, di sisi lain itu adalah "mata'ul ghurur", perhiasan dunia, serta "la'ibun wa lahwun", permainan dan senda gurau. Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang dimaksudkan dulu oleh Peciptanya. 

Adakah tangan telah mengerjakan mendekati gagasan Pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah mendengar, akal telah mengolah ilmu dan wacana, mulut telah memakan segala sesuatu yang dulu merupakan visi missi Pihak yang merancangnya. Kata Islam, seseorang adalah Nabi karena nubuwah. Adalah Rasul karena risalah. Adalah Wali karena walayah. Dan adalah manusia karena khilafah. Keempat 'ah' itu milik Allah, dilimpahkan alias diamanahkan kepada makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia bikin berbeda, dengan Ia siapkan tingkat 'human and social penetration'yang juga bertingkat-tingkat. Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan setiap manusia: tidak relevan, tidak rasional dan tidak realistis dan a-historis untuk diambil sebagai 'icon' suatu golongan. Begitu engkau bukan dimaksudkan Tuhan sebagai Malaikat, Iblis, Jin, hewan atau alam, maka engkaulah Khalifah yang menyandang khilafah. Secara simbolik-dinamik sering saya memakai idiom persuami-istrian. Sebagaimana Allah 'memperistri' makhluk-makhlukNya, lelaki 'memperistri' perempuan dan Pemerintah 'dipersuamikan' oleh rakyat -- maka ummat manusia dinobatkan menjadi 'suami' bagi alam semesta. 

Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan, menyusun disain dan methodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan managemen untuk memproduksi "rahmatan lil'alamin".Sejarah ummat manusia di muka bumi telah mencatat peradaban-peradaban para suami istri itu dengan penumpahan darah yang terlalu banyak, dusta dan peperangan yang selalu berlebihan, hipokrisi dan kepalsuan yang bertele-tele, kebodohan ilmu dan kemandegan akal yang amat memalukan, serta kekerdilan mental dan kebutaan spiritual yang senantiasa ditutup-tutupi dengan berbagai mode kesombangan yang mewah namun menggelikan dan menjijikkan. Manusia tidak bisa disebut pernah sungguh-sungguh, konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan, demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama mempelajari dirinya sendiri. Manusia melangkah serabutan, berpikir sepenggal, bertindak instan, menimbang dengan menipu timbangan, tetapi Tuhan sendiri memang 'terlibat' dalam hal ini: "Inna khalaqnal insana fil'ajal": sesungguhnya Aku ciptakan manusia cenderung bersikap tergesa-gesa.... 

Sejarah sekolah dan universitas tidak pernah benar-benar menyiapkan perjalanan tafakkur dan ijtihad ummat manusia melalui tahap-tahap pola berpikir linier, zigzag, spiral hingga thawaf siklikal. Universitas hanya mewisuda Sarjana Fakultatif meskipun kampusnya bernama universitas. Belum tuntas kaum muda menjadi murid (murid: orang yang menghendaki ilmu), dipaksakan naik ke bangku keangkuhan dengan menggelari diri maha-siswa. Para pembelajar dan pencari ilmu bersemayam di 'koma' -- begitu dia maha, finallah dan titiklah sudah perjalanan ilmiahnya. Di manakah pintu ilmu, babul 'ilmi? 

Di manakah kota raya ilmu, madinatul 'ilmi? Siapa kaum terpelajar yang tertarik pada idiom itu, apalagi menjelajahinya? Bagi kaum muda Indonesia, cukuplah Thukul bagi mereka. Sambil tiba-tiba menaiki 'maha'-kendaraan yang bernama demokrasi, world class society, pilkada pemilu pildacil, public figure, album 'religi', Majlis Ulama, clean government, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semakin tak pantas menyandang nama itu, di tengah lautan meluap, gunung meletus, bumi bergoyang-goyang sampai ke urat syaraf otak manusianya. Padahal kapasitas sistem syaraf otak manusia itu takkan pernah sanggup dirumuskan atau dikuasai oleh si manusia sendiri. Padahal pendaran-pendaran elektromagnetik 'nur' Allah yang bertebaran bertaburan keseluruh permukaan bumi, memusat menggumpal di seputar bagian atas ubun-ubun kepala setiap manusia. Abracadabra! Siapakah yang tak sesat di antara kita? Makan saja sesat sampai ke propinsi kolesterol, asam urat, jantungan, gagal ginjal, ganti hati dan stroke. Kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah festival demi festival kesesatan nasional. Pemilu salah pilih wakil dan pemimpin. 220 juta manusia tersesat ke satu lorong cita-cita: mau kaya, eksis dan berkuasa. Jalannya beribu-ribu, profesinya berbagai-bagai, icon-nya berjenis-jenis, namun menuju satu lorong itu juga. Kesesatan sistem. Kesesatan moral. Kesesatan budaya. Kesesatan ilmu. 

Kesesatan bermacam-macam kesesatan, dengan kadar yang juga berbeda-beda. Sesat moral atau akhlak. Sesat fiqih atau hukum. Sesat sosial. Setiap keputusan ekonomi yang menjerumuskan orang banyak, policy politik yang kontraproduktif terhadap keharusan kemajuan dan pembangunan, adalah - pinjam bahasa Tuhan - "dhulmun 'adhim", kesesatan yang nyata. Sesat di segala wilayah: perda, perpres, perdes, di rumah tangga, perusahaan, di jalanan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis membentur-benturkan kepala ke lantai, bersujud mohon ampun kepada Allah, 'hanya' karena seekor onta terpeleset di jalan di wilayah pemerintahannya. Sementara dalam kehidupan kita jumlah penganggur bertambah puluhan juta tak ada yang merasa bersalah, dilemma kesengsaraan ribuan penduduk bawah jalan tol belum beres, pemimpinnya tega nampang mencalonkan diri akan jadi Presiden. Dan sama sekali tak bisa kita simpulkan bahwa berbagai macam kesesatan yang sedang kita alami atau sedang menimpa mayoritas bangsa kita kalah berbahaya dibanding yang kita ributkan dengan kesesatan AlQiyadah. Hanya saja AlQiyadah menyentuh wilayah 'pamali', 'sirik', 'wadi', 'jimat' hatinya ratusan ribu orang. Yakni aqidah. Teologi. 

Wacana sangat privat yang sudah lebih mendalam di lubuk jiwa -- meskipun mungkin karena saking mendalamnya maka susah diaplikasikan keluar diri manusia untuk menjadi kebaikan sosial bersama. Andaikan AlQiyadah mengajak korupsi, ia pasti terpuji dan ke mana-mana pasti banyak kawan. Andaikan AlQiyadah memakai tabir Parpol, segera para pencoleng akan berkumpul mengerumuninya. Sebab bagi cara berpikir keagamaan umum: parpol, uang, korupsi, keculasan -- itu tidak sealamat dengan Allah dan Nabi Muhammad. Diam-diam saya pribadi menemukan bahwa alhamdulillah kesesatan-kesesatan hidup saya tidak diketahui umum atau pihak yang berwajib. Saya mohon dengan sangat bagi teman-teman yang tahu bahwa selama ini saya mendayung perahu hidup saya di aliran-aliran sesat karena tidak umum dan bukan mainstream: hendaklah tak usah melaporkan kepada MUI dan Pemerintah. Itu semua karena sampai usia menjelang 60 th Allah memperkenankan saya menjadi penduduk yang tak diperhatikan, tak didengarkan, tak dianggep, selalu diletakkan di luar garis-garis pemetaan dlam hal apapun saja. Segala yang saya dan kami lakukan, rekor apapun yang pernah kami capai, ke benua dan kota-kota besar dunia belahan manapun kami mengibarkan Merah Putih, dengan berapa ribu dan puluh ribu massapun saya bercengkerama, prestasi dan kualitas apapun yang kami gapai: saya dan kami tetap di luar peta. Bahkan rasa syukur tertinggi saya adalah jika kelak saya masuk sorga - sesudah lewat neraka: orang tetap tidak percaya bahwa saya masuk sorga. Itulah sebabnya pembicaraan di setiap forum selalu saya awali dengan kalimat "Jangan percaya pada saya, percayalah sama Allah dan Muhammad". 

Saya merasa bodoh kalau saya membaiat orang, karena dengan begitu aku yang melegitimasi kedudukanny, sehingga aku akan harus turut bertanggujng jawab atas apa yang dilakukan oleh orang yang saya baiat. Sedangkan di hadapan peradilan Tuhan, tidak logis kalau aku bisa menolong anakku atau aku bisa ditolong istriku. Tidak ada orang disumpah atau disyahadati, yang ada adalah orang bersumpah atau bersyahadat dengan dirinya sendiri. Saya tidak pernah mengakui diri saya sendiri, karena yang substansial adalah pengakuan Allah atasku, jika hal itu sekarang atau kelak mungkin terjadi. Saya tidak tega dan geli kalau orang menjadikan saya sebagai panutan, menyebut saya Ustadz, Kiai, bahkan ada spanduk berbunyi "Selamat Datang KH Emha Ainun Nadjib". 

Ya Allah lucunya. Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk mengajak orang lain, apalagi untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk berpikir seperti saya berpikir, untuk menganut apa yang saya anut. Setiap orang jangan memandang saya. Pandanglah Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri, sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu dengan Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan saya. Semua Nabi dan Rasul, umpamanya Adam atau Yunus, hanya berani menyebut dirinya dholim, "Robbana dholamna anfusana", "Inni kuntu minadh-dholimin". Maka siapakah aku, sehingga mantap untuk tak melihat diriku tersesat? Kesesatan adalah milikku sehari-hari. 

Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa belum pantas. Andaikanpun aku ini Ahlul Bait keturunan Rasulullah SAW gabung dengan darah Brawijaya, pasti kututupi sebagaimana kurahasiakan auratku. Akan tetapi apakah saya menolak keseyogyaan dakwah? O tidak. Saya seorang Da'i pelaku dakwah. Da'wah artinya panggilan, yad'u artinya memanggil, pelakunya Da'i. Menyapa. Memanusiakan. Meneguhkan bahwa yang selain saya itu benar-benar ada. Da'wah itu panggilan pada skala horisontal dengan sesama makhluk. Kalau vertikal, dari kata yang sama menjadi du'a, bahasa Indonesianya: doa, kata kerjanya juga yad'u, subyeknya juga Da'i. Berdoa adalah menyapa Allah. Kalau kita tiap saat minta-minta terus kepada Tuhan, menurut suatu logika berpikir: tak akan lebih dikasihi oleh Allah dibanding kalau kita rajin menyapaNya, rajin 'gaul' sama Dia, 'mentuhankan' Tuhan sebagaimana memanusiakan manusia. Tetangga lebih simpatik kepada kita yang suka menyapanya dibanding yang sering meminta-minta -- meskipun menurut pemahaman lain Tuhan tidaklah sama dengan tetangga. 

Pinjam puisinya Chairil Anwar: bukan kesesatan benar menusuk kalbu, keridhaanmu menerima segala tiba, tak setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertahta.... Allah sendiri, Masya Allah memang Maha Menyesatkan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan olehNya tak seorangpun bisa memberinya petunjuk.


Creative By : La Ode Muhamad Fardan

Sang Perampok

Mau ke mana kamu Kiri kanan tembok Ke belakang ada jurang Ke depan dikejar hutang Pergi ke masa depan yang mana kamu Perjalananmu dipimpin perampok Di depan sana kamu ditunggu berbagai kelompok Yang masing-masing siap menjadi perampok Kamu dihadang oleh daftar kesengsaraan baru Orang yang mewakilimu menjualmu Orang yang kamu percaya mengkhianati cintamu Karena kamu tak mau belajar apa yang sebenarnya kamu tunggu Perampok-perampok bergilir memperkosamu Janji mereka kamu bayar dengan darah bahkan mautmu Kemudian tetap kamu junjung-junjung di pundakmu Bahkan terus saja kamu bersujud bersimpuh dengan dungu 

Perampok-perampok berbaju malaikat Perampok-perampok berludah ayat-ayat Perampok-perampok mencuri jubah kebesaran Tuhan Yang lain berbaris jadi pengemis dan pekatik Perampok-perampok berwajah demokrasi Berkaki kepentingan, bertangan keserakahan Perampok-perampok mengelus rambutmu dengan cinta Kemudian menikam punggungmu dengan dengki dan santet Delapan tahun silam kubilang perahu sudah retak 


Lima tahun kemudian kelasi diganti Perahu retak perahu oleng perahu bocor Dan setiap kelasi yang baru berlomba menambah bocoran-bocoran Politik hanya kepentingan Demokrasi adalah persepsi atas dasar kebencian Pemilu adalah perebutan buah kuldi Yang memelorotkan derajat Adam dari sorga ke kehinaan dunia Mau ke mana kamu Berpikir untuk juga menjadi perampok Mengacau negeri ini agar secepatnya membusuk Atau menguasainya, atau meninggalkannya Mau ke mana kamu Di mana gerangan harapan kini bersemayam Kalau yang sesungguhnya engkau lawan Adalah kotoran di dalam dirimu sendiri Tokoh-tokoh yang kau benci Sebenarnya mainstream dari arus napsumu sendiri Sementara tokoh-tokoh yang engkau cintai Kamu perbudak agar membukakan lapangan kerakusanmu Jadi, berhati-hatilah, jangan percaya kepadaku 

Waspadalah kepada setiap yang kukatakan kepadamu Tak semua diriku bisa kuperkenalkan melalui kata-kata Sebab beo, komputer dan tape recorder pun gampang membohongimu Kuajak kamu melingkar, bernyanyi, Menata hati, menjernihkan pikiran Belajar dewasa dalam perbedaan Belajar arif dalam lingkaran keberagaman Berlatih memohon agar Tuhan menjadi penghuni utama hati 

Menjadikan seluruh rakyat sebagai subyek utama dari fungsi akal Latihan bergembira, latihan tenteram, latihan tak berputus asa Kita bangun negeri akal, negeri orang dewasa, negeri nurani Menemukan Indonesia yang sejati Dan jika yang bernama Indonesia ini tak menerimanya Tetap cintailah ia. Buka hati dan kesabaranmu Untuk memaafkannya dan mendengarkan keluhannya

Sang Kekasih Sejati

Rakyat Sebagai Kekasih Sejati _
Creative/Penulis By : La Ode Muhamad Fardan

Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2014, orang saling bertanya: ”Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?” Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama- nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai. Atmosfer dan Bintang-bintang berdialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara. Itu berlangsung ya di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda, juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja- meja pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih: ada yang berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan presiden yang sedang berkuasa. 

Ada yang menoleh ke kemungkinan mendulang harapan ke pemimpin tradisional. Ada yang merapat ke pemimpin yang pernah memimpin dan kembali mencalonkan diri. Atau kepada kemungkinan lain: pergerakan terjadi ke berbagai arah, lama maupun baru. Dan, semuanya selalu sangat menggairahkan. Memiliki pola kearifan Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar biasa. 

Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan. Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. 

Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati. Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. 

Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan. Puncak kekuatan dan cinta rakyat Indonesia, si kekasih sejati, kepada pemerintahnya, adalah menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga jangan sampai kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat Indonesia selalu memelihara suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa ia sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya. 

Rakyat Indonesia selalu bersikap seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, beserta seluruh jajaran birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu menyembunyikan rasa sakit hatinya agar si pemerintah kekasihnya tidak terpuruk hatinya dan merasa gagal. Lebih dari itu, meski sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan, rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu, demi kelanggengan percintaannya dengan pemerintah si kekasih. Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah yang mengerikan yang mereka derita. 

Rakyat tidak akan pernah secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapa pun dia, takkan sanggup berbuat setingkat dengan tuntutan dan kebutuhan obyektif rakyatnya meski disertai kabinet yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi maupun tak resmi. Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden dan situasi itu ditelan oleh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. 

Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibandingkan pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin. 

Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap memilih salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung risiko hidup yang tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya.


Creative/Penulis By : La Ode Muhamad Fardan

SuaraKu Bersama Ibu

Ibu, Tamparlah  Anak-anakmu Ibu, engkau duduk di hadapanku. Ibu jadilah hakim yang Adil, bagi anak-anakmu. Jika kutulis ini sebagai buku netral, pengadilan akan empuk. Setiap kata dari beribu bahasa bisa dipakai untuk mementaskan kepalsuan. seratus ahli penyusun kalimat bisa memproduksi puluhan atau ratusan ribu rangkaian kata yang bebas dari kenyataan dan dari diri penyusunnya sendiri. 

Kebebasan itu bisa sekedar berupa keterlepasan kicauan intelektual dari dunia empiris, tapi bisa juga merupakan kesenjangan antara semangat ilmu—yang di antara keduanya membentang kemunafikan, inkonsistensi atau bentuk-bentuk kelamisan lainnya. 

Syair tidak bertanya kepada penyairnya. Ilmu tidak menguak ilmiawannya. Pembicaraan tidak menuntut pembicaranya. Tulisan tidak meminta bukti hidup penulisnya. Ide tidak kembali kepada para pelontarnya. Ibu yang duduk di hadapanku, ini adalah kritik anak-anakmu sendiri. Allah melaknat orang yang mencari ilmu untuk ilmu. Al-‘ilmu lil-‘ilmi. Ilmu menjadi batu, dan para pencari ilmu menyembah bau-batu, berhala berhala yang membeku di perpustakaan dan pusat-pusat dokumentasi serta informasi. Betapa penting dokumentasi, tetapi ilmu tidak dipersembahkan kepada museum apapun, melainkan kepada apa yang bisa dikerjakan hari ini oleh para penulis di lapangan, bukan di kahyangan. Ibu, tamparlah mulut anak-anakmu. 

Orang yang bertahun-tahun mempelajari mana yang benar dan mana yang salah dalam kehidupan, tidak dijamin memiliki kebenaran mental untuk mengemukakan sesuatu hal itu benar dan sesuatu hal itu salah. 

Tinggi dan luasnya Ilmu pengetahuan seorang cendekiawan tidak menjanjikan jaminan moral. Artinya, dari kenyataan itu tercermin ketidaktahuan kemanusiaan. Di dalam diri seseorang tidak terdapat keterkaitan positif antara, pengetahuan, ilmu, mentalitas dan moralitas.


Creative By : La Ode Muhamad Fardan

Empat Makhluk Penyebab Skripsi Macet (Dilangsir dari Komik Mahasiswa)

Sebenernya ada jutaan hal yang bisa bikin skripsi macet. Gue nggak mungkin nyebutin semuanya. Selain karena gue belum mengasuransikan jari tangan gue yang berpotensi putus tanpa gue sadarin waktu ngetik, penyebab macetnya skripsipun sebenernya kita sendiri yang membuatnya. 
Ketika hal yang nggak penting menjadi penting. Fenomena Skripsi.

Berikut 4 Makhluk Penyebab Skripsi Macet
1. Temen



Mau temen baik, temen sejurusan, temen tapi mesra, temenin aku dong, dan lain-lain. Hal yang selalu bikin kita lemah apalagi kalau bukan ajakan yang universal dan bisa dimengerti setiap suku di Indonesia ini yaitu "Main yuk". Mungkin kalau diibaratkan pas lo ngerjain skripsi ini kayak ketika lo sedang disuruh nyebrang jurang meniti tali setipis tali beha, lalu tiba-tiba seorang temen menawarkan sebuah pilihan "Mau numpang helikopter gue?" . Yak, pilihan yang sulit... TENTU AJA MUDAH BANGET BLOK. Orang habis ditabrak bis pun udah tahu bakal ambil pilihan mana dan dengan alasan yang klasik. "Duh kalau nolak dikira nggak asik nih". Oke. Fine. Skor temen lo 1 dan skor lo 0 besar yang berisi harapan skripsi lo bakal kelar sendiri habis lo pulang dari main tiada henti.
Tips: 
-Pura-pura sakit (kalau dibawa ke UGD, bilang udah enakan tapi masih ngidam steak)
-Pura-pura kere (Kalau dibayarin, ya terima aja sih)
-Pura-pura pergi ama pacar (checkin aja di path random sama lawan jenis asal yang avatarnya oke)

2. Pacar

Gue udah bersumpah dari dulu. Kalau punya pacar yang ngasih gue pertanyaan, "Kamu pilih aku apa skripsi kamu?" Gue bakalan jawab. "SAYANG , KAMU CANTIK CANTIK KOK SUKA LUPA SIH, LUPA NINGGALIN OTAK DI RUMAH" Lagian, geblek banget cemburu sama skripsi. Tapi emang bener sih, susah banget kalau pacar udah ngajakin main pas kita lagi pengen serius skripsian. Sebenernya nggak jauh beda sama temen, cuma pilihan ini lebih susah ditolak, kalau diibaratin kayak lo disuruh milih mau ditabrak pake bis atau dipeluk cewek cantik sambil naik bis. Gitu doang sih.
Tips: 
-Ngerjain skripsi di cafe sambil pegangan tangan (lah yang ngetik siapa?)
-Kasih pengertian ke pacar kamu "Sayang, kalau kamu aku nggak lulus-lulus, nanti kalau aku ketemu maba yang lebih cantik daripada kamu gimana?" dijamin pacar kamu berhenti ngajakin main sekaligus...............menampar.
3. Dosen

Gue nggak mau ngomong banyak. Ini sebenernya tergantung lo aja sih. Ada yang udah enak-enak dapet dosen asyik, tapi kepetnya malah dikasih ati minta jantung. Dosennya udah enak banget, ngerjain skripsinya kayak bekicot disuruh jalan pelan-pelan. Ada juga yang udah onfire banget, malah dapet dosen pembimbing yang disinyalir mengalami PMS 3 jam sekali. Kadang kita emang lupa bersyukur kalau hidup kita itu udah enak banget.
Tips: 
-Banyak-banyak berdoa dan membawa sesajen kepada dosen.
-Banyak-banyak main ke rumah dosen
4. Film

 
Film konon adalah olahraga yang sedang diusulkan di cabang atletik olimpiade 2016 besok. Maraton Film. Film Membuat moto hidup gue menjadi gabungan dari makna skripsian dan menonton film. "BAHAGIA DAN SUSAH ITU HARUS IMBANG : 1 JAM SKRIPSI DIBALAS 6 JAM NONTON FILM DOWNLOADAN". Mungkin kalau Mario Teguh tahu moto hidup gue kayak gitu, dia bakal dateng langsung di kamar sambil ngomong "Get a life son". Selain itu frekuensi gue ke bioskop berubah total selama skripsi dari penonton XXI jadi "Ini orang pegawai XXI apa ya kok gue lihat terus di bioskop?". Oh, kalau di akhirat nanti Tuhan nanya ke gue "Apa yang kamu perbuat semasa hidupmu?" mungkin gue nggak bakal jawab tapi bakal nanya "Warnet di surga koleksi filmnya lengkap nggak?"
Tips: 
(ON PROGRESS)
Kalau gue udah nemu solusinya gue kasih tahu. Sementara masih belum nemu.

Masih banyak lagi penyebab kemacetan skripsi yang bakalan lo temuin, masalahnya cuma bisa diselesaikan sama diri lo sendiri.

Ketika Tulisan Rakyat Bercerita

Akhirnya aku mengerti, bahwa selama masyarakat mendapatkan makanan yang layak, tempat tinggal yang layak dan perlindungan serta keadilan, mereka tidak akan peduli dengan apa itu yang namanya politik. Sayangnya, hingga saat ini mereka belum mendapatkannya. 

Ketidakmerataan kesejahteraan serta ketidakadilan yang di dapatkan sebahagian besar orang menjadi pemicu muncul perlawan terhadap penguasa. Sekarang, begitu banyak penguasa (pemerintah) mencoba menjinakkan rakyat dengan propoganda-propoganda manis, dengan sejuta harapan bahwa masyarakat akan menerima ketidak adilan yg mereka peroleh. 



Namun, sekali lagi saya katakan mereka tidak peduli dengan janji-janji. Mereka membutuhkan beras untuk dimakan dan rumah untuk ditingali. Namun ingat pula, walaupun masyarakat sudah mendapatkan makanan dan tempat tinggal yang layak, tidak cukup sampai di situ. Masyarakat bukanlah hewan ternak yang hanya cukup diberi makan dan kandang yang layak selanjutnya siap untuk dimanfaatkan. 

Masyarakat harus tetap diperlakukan sebagaimana kondratnya, yaitu manusia yang memiliki kehendak bebas. Andai saja penguasa mengerti bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, tak perlu dia jenderal yang memenangkan ratusan pertempuran dan tak perlu dia yang dilahirkan dari garis keturunan seorang raja. Aku ingin mengatakan, pemimpin sejati tidak dilahirkan, tetapi ditempa dengan kerja keras dan pengorbanan. Ditempa dari rasa sakit, ditempa dari rasa kepedulian dan yang terutama dia yang memiliki kasih sayang di dalam dirinya. Siapapun itu, akan menjadi permata yang mampu membawa masyarakat dalam kondisi yang sejahtera. 

Aku yakin dalam kepeminannya tak akan ada cacian dan cercaan yang ditujukan kepadanya. Mungkin masyarakat terlalu polos untuk menggugat. 

Masyarakat juga tidak peduli apa itu revolusi, reformasi atau pun restorasi, yang mereka mau hanyalah hak mereka diberikan sesuai proporsinya. Hak atas kesejahteraan, keadilan dan perlindungan sebagai suatu upah dari penundukan sebahagian dari kehendak bebas yang mereka serahkan kepada negara. Jadi berhenti lah beretorika atau meniupkan angin janji-janji palsu.


Creative By/Penulis: La Ode Muhamad Fardan 
Penulis pada Blogger Cakrwalasultra.com

Selasa, 26 Juli 2016

Cerita Seorang Pemuda Miskin

Alkisah, hiduplah seorang pemuda tampan dan nyaris sempurna. Selain tampan, ia pun terkenal kaya raya, ramah kepada sesama, dan gemar membantu orang yang kesusahan. Kebaikannya begitu semerbak dan ketampanannya demikian memikat, hingga ke mana pun ia melangkah orang-orang senantiasa menghampirinya untuk sekadar menyampaikan kekagumannya ataupun kebutuhannya.
Masih di kota yang sama hidup pula seorang pemuda yang sangat tampan cerdas. Namun sayang ia begitu miskin, hingga untuk makan saja ia harus berjuang keras untuk mendapatkannya. Bajunya yang demikian lusuh dan penuh dengan tambalan telah menyembunyikan ketampanannya dari perhatian orang-orang. Hampir tak satu pun warga yang mempedulikannya, hanya pada saat mereka membutuhkan orang untuk mengerjakan pekerjaan kotor dan menjijikan mereka menyuruhnya untuk mengerjakannya dengan upah alakadarnya.
Si pemuda miskin itu menjadi sedih dan kesepian. Kesedihannya kian menjadi saat melihat pemuda tampan dan kaya raya itu, betapa pemuda itu begitu diperhatikan dan dielu-elukan. Pemuda miskin itu selalu berharap bahwa suatu saat nanti orang-orang juga akan memperhatikan dirinya karena ia juga memiiki banyak hal yang ingin ia bagikan kepada orang banyak.
Suatu hari pemuda miskin itu memberanikan diri menemui pemuda kaya raya tersebut. “Permisi” katanya dengan suara parau dan lirih. “Bolehkah saya meminta bantuan anda?” Pemuda kaya raya yang baik hati tersenyum kepada pemuda miskin itu.
“Tentu saja” jawabnya. “Apa yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan tulus.
“Begini” kata pemuda miskin itu. “Anda sangat tampan dan kaya, sehingga semua orang demikian memperhatikan dan ingin bertemu dengan anda. Sedangkan saya hanyalah pemuda miskin yang tidak mampu berpenampilan menarik dan indah, hingga tak ada seorangpun yang ingin memperhatikan saya. Saya ingin sekali kau meminjamkan salah satu baju terbaikmu dan berjalan keliling kota bersama-sama anda, walau hanya sehari saja. Mungkin dengan demikian orang-orang akan memperhatikan saya dan mau mendengarkan saya, karena banyak sekali yang ingin saya bagikan kepada mereka. Ah, andai saja mereka tahu.”

Mendengar permintaan pemuda miskin itu, pemuda kaya raya yang baik hati itu segera mengabulkannya.
Keesokan harinya, pemuda tampan dan kaya raya itu memakaikan salah satu pakaian terbaiknya kepada pemuda miskin itu dan mengajaknya berjalan-jalan berkeliling kota bersamanya. Di mana-mana, seperti biasa, orang-orang sibuk memperhatikan pemuda tamapan yang kaya raya itu. Sekarang ia dan pemuda tampan yang berbusana indah yang berjalan bersamanya. Selama perjalanan, pemuda miskin yang cerdas itu bercerita tentang berbagai hal kepada pemuda yang tampan dan kaya itu. Tahulah sang pemuda tampan dan kaya itu bahwa pemuda miskin ini memiliki pengetahuan yang sempurna tentang segala hal dan kehidupan.
Sejak saat itu mereka pun kemudian bersahabat, dan ke manapun pemuda tampan dan kaya raya itu pergi sahabatnya itu selalu menyertainya. Warga pun kian bahagia karena selain pertolongan dari si pemuda kaya, kini mereka pun memiliki tempat bertanya dan mendengarkan kisah-kisah luar biasa dari si pemuda miskin itu.

Siapakah nama pemuda miskin berbaju jelek itu? Dialah yang hari ini sering dikenal dengan nama ‘Islam’. Dan siapakah pemuda tampan yang kaya raya itu? Dialah yang hari ini lebih dikenal dengan nama ‘Amal’.

Creativ by : Fardan
Editor : La Ode Muhamad Fardan

Tulisan Untuk Kesekian Kalinya

Catatan hari ke sekian

Ada degup jantung yang cepat ketika terbayang semuanya
Ternyata sungguh ini tak mudah
Tak semudah yang d bayangkan
Ini catatan ku...
Catatan hari demi hari yang ku lewati dalam harap dan cemas
Dalam khawatir di iringi degup jantung bak org yang sedang berlari d pagi hari
Ada bagian bagian dalam diri kita yang harus d lewati oleh diri kita smdiri
Tanpa org tua atau saudara maupun sahabat
Walau sejatinya kita memang sendiri
Tapi ternyata tetap ada bagian dari hidup kita yang benar benar sendiri
Ini catatan ku
Dalam hari hari yang ku lewati dalam menanti sebuah kepastian
Ternyata seperti ini rasanya
Rasa bahagia yang mungkin di rasakan sepasang kekasih yang jatuh cinta
Tapi bagiku ini lebih mirip seperti menanti d panggil masuk ke ruang sidang
Ada sebuah balasan cv 
Inilah cara kami berikhtiar terhadap cinta itu
Ada sebuah harapan
Tapi ini bedanya yang aku rasakan dan gadis gadis lain rasakan
Mungkin mereka akan bahagia bak menjadi ratu yang telah d jemput pasangannya
Tapi yang kurasakan justru jauh dari kata bahagia
Sungguh semakin memikirkan maka semakin banyak ketakutan yang muncul
Sungguh inilah bedanya ...
Inilah beda nya ta'ruf dan pacaran
Inilah rasanya
Semakin d Fikiran maka semakin merasa kecil diri ini
Semakin di rasakan maka akan semakin banyak pertanyaan yg muncul
Dan sungguh maha besar Allah dengan segala kuasanya
Sungguh ... 
Akhirnya sampai lah pada titik dimana Kita sadar bahwa kita  bukanlah apa apa
Ada yang lebih berkuasa Disana 
Dapat yang telah menuliskan semuanya dengan indah
Jangan pernah burukan pandang mu
Prasangka mu
Sungguh semua telah di atur nya sedemikian rupa
Sungguh Dia Lah yang lebih mengetahui mana yang disebut pantas dan tak pantas
Sungguh manusia adalah makhluk yang lemah
Ya Rabb yang menggenggam hati ini
Ku titipkan semua rasa ku ini, khawatir ku, takut ku, ragu ku
Biarlah ini menjadi pembelajaran bagiku
Seperti apa akhirnya
Semua kuserahkan pada Mu
Pada zat yang Maha Sempurna
Cukuplah Pantas atau tidak
Baik atau tidak
Layak atau tidak
Biarkan itu menjadi hak prerogatif Mu
Sungguh aku hanya ingin menekmati takdir yang telah Kau tulis 
Dan menyaksikan semua hingga semua akan indah pada waktunya .
Creative by : La Ode Muhamad Fardan

Janji untuk Kemudian Hari "Suatu Saat Ku"

Janji untuk kemudian hari" Fardan Ode"

Sama seperti malam malam yang lain.. Malam ini masih terasa sama
Ada sekian banyak pertanyaan dalam hati yang pun mungkin hanya hati pula yg mampu menjawab
Ada sekian banyak ketakutan atau lebih tepatnya mungkin sebuah kekhawatiran...

Inilah iman
Kadang dia naik, pun kadang dia terjun bebas sesuka hati
Dan mungkin malam ini adalah sesi dia terjun bebas...

Malam ini sama dengan malam malam yg lain
Ini masalah sederhana tapi mungkin jadi rumit karna sang diri menjadikannya terlihat rumit
Ada dua wajah yang setiap aku memandang maka setiap itu pulalah kekhawatiran langsung menyergap

Mungkin ini sebuah pertanyaan konyol
Pertanyaan yg berulang kali sering aku tanyakan pada Allah
Ya Allah.. Setiap hamba sudah di takdir kan memiliki jodohnya .. Maka semoga pun ada takdir jodoh yg datang pada ku
Pertanyaan yang seolah tak ada lagi iman d hati
Karna meragukan Janji Nya

Tapi inilah manusia
Pertanyaan ini yang menghantui setiap malam
Yg menemani sekaligus melengkapi d dalam masa masa penantian

Ada dua wajah yang ketika memandangnya  maka seketika itu juga pertanyaan itu akan muncul menari dengan indahnya menguasai hati
Kenapa??

Karna mereka sempurna, terlahir dgn fitrahnya yg sempurna...
Dan aku... Lebih mirip apa adanya
Lalu apa yg bisa membuat orang lain memandang..
Bisakah aku mendapatkannya..
Bisakah aku juga merasakan manisnya jatuh cinta???

Ya Rabb
Ingin menetes rasanya air mata ini
Semoga kau menyisakan satu perempuan baik untukku
Yang mau mencintaiku tanpa memandang fisik ku

Semoga jodoh itu bukan hanya milik si cantik/ganteng atau si tubuh kurus semampai
Kenapa aku harus takut pada janji Allah??
Mungkin ini lebih karna iman ku yang masih compang-Camping
Amalan yang msh bolong bolong..
Atau hati yg masih jauh dari kata ikhlas

Yaaaa Rabb
Aku akan cerita tentang 2 orang itu

Yang pertama adalah saudara ku sendiri
Adik lebih tepatnya
Secara fitrah dia memang terlahir dengan ganteng.. Dan kita bagaikan langit dan bumi
Dia telah berpacaran entah 2 atau 3 tahun lama nya
Sungguh aku tak ingin menghalanginya bahagia
Tapi aku pun tak sanggup jika harus d langkahnya
Alhamdulillah masa kuliah dapat memperpanjang nafas ku
Setidaknya mungkin aku punya waktu 1tahun untuk ikhtiar demi tak menzolimi
Semoga ada takdir baik yang Allah tuliskan untuk ini..

Yang kedua
Dia sahabat yang mungkin sudah lebih dari saudara
Dia terlahir dengan penampilan baik
Tubuh indah
Dan mungkin sempurna dengan Sikap lembutnya

Jelas kita beda.. Masih sama mungkin bagaikan langit dan bumi

Dia pernah berjanji
Bahwa dia tak akan menikah sebelum aku menikah
Sungguh luar biasa hatinya

Tapi jujur setiap melihat wajahnya yang terlintas adalah
Bagaimana jika ternyata takdir itu lebih dulu menghampirinya
Apakah dengan keegoisan yang aku punya, aku harus menghentikannya
Atau justru belajar mengikhlaskan ya

Entah...

Semoga Allah tak menguji ku dengan dua keadaan di atas

Sungguh entah harus dengan jalan apa aku melaluinya
Inilah alasan pertanyaan itu muncul dan bukan hanya sekali
Inilah alasan ke khawatirkan itu hadir

Allah... Semoga kau menyisakan satu perempuan baik untukku
Dimana dia tak keberatan menerima semua apa adanya aku...
Dimana dia bisa bersabar dengan semua tingkah konyol ku
Dimana aku bisa mengabdi dan berbagi cerita
Dimana aku bisa tertawa sekaligus menangis  bahagia ketika bersamanya
Dimana aku bisa belajar menjadi dewasa di sisinya

Jika memang ujian itu datang
Satu hal yang bisa aku janjikan
Aku akan hadapi
Tak akan pernah aku lari
Dan jika ujian itu adalah yang Engkau Ridhoi
Maka aku akan memilih untuk membiarkan mereka melangkah tanpa harus menghalangi...

Mungkin mudah hari ini berkata
Karna sungguh ini masih sebuah kekhawatiran semata
Tapi justru sengaja aku menulisnya
Aku takut nanti lupa justru ketika ujian sebenarnya itu datang
Maka biarkan tulisan ini yang menjadi pengingatnya
Bahwa aku memilih untuk mengikhlaskan dan membiarkan mereka melangkah

Urusan hatiku
Biar ku titipkan padaMu
Tapi mungkin kau harus mengizinkan ku menangis
Mungkin seminggu atau mungkin lebih
Tapi biarlah
Biar ini jadi sisiku
Dan aku akan tetap ada untuk menatap semuanya dengan sempurna

Karna aku yakin
Allah menyisakan satu
Perempuan baik untukku
Dia akan datang
Dan aku memilih untuk menunggunya dengan Caraku...


Ceritaku/Penulis : La Ode Muhamad Fardan


Penulis adalah Penyihir Abadi

Jatuh cintalah pada seorang penulis
Maka kisahmu akan abadi..
Sungguh indah ketika kau berhasil meluluhkan hati seorang penulis
Dimana kata indah akan hadir 
Dimana setiap kisah akan menjadi lembar demi lembar bagian abadi
Ketika bahagia menjadi bagian manis 
Dan haru menjadi bagian romantis
Seorang penulis adalah penyihir 
Maka ketika bersamanya bagian kisahmu akan tertulis sempurna ...
Tapi bagaimana jika sebaliknya...
Bagaimana jika ternyata tak ada seorang penulis yang jatuh cinta Padamu..
Maka jadilah penulis itu
Dimana setiap kisah akan menjadi lembar demi lembar bagian abadi
Dan rindu mu akan jadi pemanis dari kisah mu
Jadilah penulis
Dimana bagian terbaik ketika kau mengadu adalah dengan untaian kata kata yang menyatu
Dimana bagian terbaik dari kau tertawa adalah dengan rangkaian makna yang terurai sempurna
Jadilah seorang penulis
Agar kelak cintamu bisa abadi
Agar kelak bagian singkat hidupmu bisa abadi.. 
Agar kelak bahasa sederhana cinta menjadi terucap sempurna
Agar kelak kau mengerti, bahwa hidup tak lebih dari lembaran lembaran kisah dimana sesungguhnya kita Lah penulisnya
Maka biarlah tiap lembar itu tertuliskan 
Dan biar kan cinta menjadi pelengkap bagiannya ...
 
 
Penulis : La Ode Muh Fardan