By L.M.F Jurusan Ilmu Komunikasi
Konsentrasi Jurnalistik_U.H.O _ 11
Hingga Terbitnya Tulisan Ini dibantu dengan beberapa sumber.
Tidak ada manusia yang ingin mendapat musibah. Semuanya akan berusaha keras dan sebaik mungkin agar dapat menolak kehadirannya. Terutama setelah mengalami suatu ujian besar, berbagai usahapun dapat dilakukan untuk menolaknya serupa atau bahkan lainnya. Namun persoalannya, apabila usaha tersebut justru menjadi cobaan baru yang lebih dari sebelumnya.
Pada hakekatnya, manusia terikat dengan takdir Allah, baik maupun buruk. Percaya terhadap takdir merupakan suatu kewajiban bagi manusia. Karena hal tersebut termasuk kedalam rukun iman. “Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. 57:22)
Ibnu Taimiyah rahimahullahketika ditanya apakah rizki yang telah ditakdirkan dapat bertambah atau berkurang, beliau menjawab bahwa takdir rezeki itu ada dua macam, Pertama, takdir rezeki yang Allah tentukan bahwasanya Allah akan memberi rezeki pada hamba sekian dan sekian. Takdir ini tidak mungkin berubah. Kedua, takdir rezeki yangdicatat dan diketahui oleh Malaikat. Ketetapan semacam ini bisa bertambah dan berkurang sesuai dengan sebab yang dilakukan oleh hamba. Allah akan menyuruh Malaikat untuk mencatat rezeki baginya. Jika ia menjalin hubungan silaturahmi, Allah pun akan menambah rizki baginya.
Sebagaimana takdir rezeki yang pertama, kelahiran, kematian, jodoh, merupakan beberapa contoh takdir Allah yang tidak dapat dirubah. Akan tetapi, menurut beberapa ulama’ cara manusia mati merupakan takdir yang dapat dirubah, sesuai dengan amal ibadah masing-masing. Sehingga terbagi menjadi dua istilah, yaitu khusnul khotimah dan su’ul khotimah. Meskipun Allah telah mengilmui hal tersebut, jauh sebelum hal tersebut terjadi.
Begitu pula dengan kematian ratusan penumpang pesawat Air Asia QZ8501. Apapun alasannya, kematian mereka merupakan suatu ketetapan yang telah ditentukan Allah dan pasti terjadi. Ketika Allah telah menentukan takdirNya yang tidak dapat dirubah, apapun usaha manusia untuk menghalanginya tidak akan berhasil. Namun bukan berarti manusia hanya diam saja dan menyalahkan segala keburukan yang terjadi kepada takdir Allah. Sebagai makhluk, manusia tetap berkewajiban berusaha menjauhkan diri dari segala keburukan. Karena sebagaimana pembahasan di atas, cara manusia mati merupakan takdir yang dapat dirubah. Sedangkan setiap manusia normal, biasanya menginginkan akhir hidup yang membahagiakan, bukan akhir yang menjadi musibah.
Merebaknya berita musibah Air Asia, membuat warga sekitar tempat kejadian menjadi resah. Kebanyakan dari mereka merasa khawatir akan muncul musibah-musibah lain yang mengiringinya. Maka beberapa usaha telah dilakukan oleh warga sekitar. Kabar terakhir, untuk menolak musibah lainnya, masyarakat Kaharingan dari Desa Penyambaan, Kabupaten Lamandau dipimpin ketua adat dan perangkat desa setempat, Sabtu (10/1) sore sekitar pukul 16.30 Wib menggelar ritual adat ‘memberi makan’ atau sesaji kepada ‘penunggu laut’ di mana pesawat AirAsia diduga jatuh. Sesaji yang terdiri dari 1 ekor babi, hati babi dan 1 ekor ayam itupun dilarung ke laut lepas dengan diiringi doa-doa yang dipimpin Lacon, Ketua Adat Kaharingan Desa Penyambaan. Lalu bagaimanakah dengan usaha yang seperti ini?
Hukum asal perkara ibadah/ritual adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, pasti akan tetolak.” (HR. Muslim). dengan begitu sudah sangat jelas bahwa memberi sesaji seperti yang dilakukan diatas merupakan ibadah yang tertolak dan sia-sia. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan apabila ritual tersebut bukan hanya dalam taraf bid’ah namun sudah berada dalam taraf syirik.“Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup dan matiku, semuanya untuk Allah Rabb seru sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya…” (QS. al-An’aam: 162).
Syirik adalah suatu kedzoliman yang besar. Maka perbuatan syirik dengan memberi makan penghuni laut seperti yang dilakukan masyarakat Kaharingan merupakan musibah yang sangat dahsyat. Bahkan lebih dahsyat daripada jatuhnya pesawat itu sendiri. Bagaimana tidak, kasus tersebut yang hancur hanyalah pesawat. Kematian bagi orang yang beriman hanyalah pintu menuju kenikmatan kubur. Sedangkan musibah aqidah yang dialami masyarakat Kaharingan awal dari kehancuran. Meskipun saat ini mereka baik-baik saja, tapi kelak mereka akan menjemput penyiksaan yang dahsyat untuk selama-lamanya, jika mereka mati dalam keadaan belum bertaubat. Betapa rugi bagi seseorang yang mencoba menolak dana menghindar dari suatu musibah akan tetapi justru mendapat musibah yang lebih besar.
Lalu, jika yang dilakukan masyarakat kaharingan tersebut salah, apa yang bisa kita lakukan unuk menolak musibah dan menghindarkan diri dari keburukan?
Seorang hamba yang ingin selamat dari berbagai macam musibah dan bencana hendaknya hanya berlindung dan berdoa kepada Allah. Karena hanya Allah yang menguasai segala urusan di langit dan di bumi. Dia lah yang menguasai segala manfaat dan madharat. Inilah langkah yang tepat bagi kita sebagai seorang muslim untuk menolak bencana. Do’a yang disertai dengan usaha teknis sebaik mungkin. Usaha kita untuk menyiapkan segala sesuatu sebaik mungkin, mempersiapkan segalanya agar berada dalam taraf aman, kemudian berdo’a kepada Allah agar selalu mendapat perlindungan. Sehingga sekalipun musibah telah menimpa kita, maka dengan sikap sabar dan ikhlas, justru kita dapat menjadikan musibah tersebut menjadi alat untuk mendapat berkah.
By L.M.F Jurusan Ilmu Komunikasi
Konsentrasi Jurnalistik_U.H.O _ 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar