Minggu, 15 Mei 2016

Rasa Tersinggung Terhadap NegeriKu

Oleh : La Ode Muhamad Fardan.

Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana” 
Kalimat di atas adalah pernyataan dari Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, yang memiliki makna sederhananya adalah setinggi apapun pengetahuan manusia akan teori-teori dan makna dunia tapi jika tidak mencintai kemanusiaan, maka sia-sia ilmunya.
Sebagai mahasiswa, selain belajar tentang ilmu, juga harus bisa memahami realita sosial-masyarakat, apa yang sedang berkembang di masyarakat, apa yang menjadi persoalan masyarakat, sehingga eksistensinya sebagai manusia terpelajar benar-benar bisa dirasakan oleh realita bahwa segala pengetahuannya terkonfirmasi oleh syarat-syarat untuk menjadi manusia yang bertanggung-jawab atas sosial-masyarakatnya.

Untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat, tidak bisa didapat dari bangku kampus atau silabus perkuliahan. Untuk itulah keberadaan organisasi mahasiswa sangat penting. Organisasi mahasiswa harus merupakan sebuah wadah yang bisa menunjukkan pada kenyataan sosial bahwa masih banyak kemiskinan, penindasan, diskriminasi dan ketidak-adilan dimana Negara abai terhadap kenyataan rakyat bawah, untuk itulah organisasi mahasiswa sangat dibutuhkan sebagai alat perjuangan untuk mencapai tujuan. Keberpihakan organisasi mahasiswa terhadap rakyat juga penting sebagai penilaian apakah organisasi mahasiswa itu serius dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat, melihatnya dengan mengetahui orientasi gerakan mahasiswa tersebut apakah benar memperjuangkan rakyat?

Pendidikan sebagai sarana perjuangan
Belajar mengenai maksud dan orientasi (tujuan) pendidikan (dari TK hingga Profesor) harus lengkap secara utuh. Idealnya (agar berkualitas), pendidikan haruslah berkarakter mencintai kemanusiaan, atau dalam istilah terkenalnya adalah “memanusiakan manusia”.

Pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan manusia itu sendiri, pengenalan yang obyektif dan subyektif, sekaligus. Kesadaran subyektif dan keadaan/realitas obyektif haruslah menjadi satu fungsi dialektik untuk memahami dunia dan kontradiksinya (bahwa ada yang menindas dan tertindas), hal tersebut harus dipahami oleh manusia (termasuk mahasiswa/peserta didik). 
Menurut ahli filsafat pendidikan bernama Paulo Freire, ada tiga unsur yang terlibat dalam dunia pendidikan. Yaitu: pengajar, pelajar/peserta didik, realitas dunia. Ketiga hal tersebut diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, subyek yang sadar (cognitive): Pengajar dan Pelajar/peserta didik. Sedangkan yang kedua adalah obyek yang harus disadari (cognizible): Realitas dunia.
Hubungan berkesinambungan (dialektik) seperti di atas itulah yang—menurut Freire—tidak pernah kita jumpai dalam pendidikan ”mapan” a-la borjuis sekarang ini. Sistem pendidikan yang ada hanyalah semata-mata menjadikan anak didik sebagai obyek deposito dan akan diambil keahliannya, dimanfaatkan ilmunya, untuk mengabdi pada kepentingan kapitalis memperkaya diri sendiri, menjadi individualis.
Jadi, menurut Freire, anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito potensial. Pada akhirnya, peserta didik tak memiliki perspektif lain selain yang diajarkan oleh kurikulum kapitalis, peserta didik menjadi mesin. Dan yang paling parah adalah, peserta didik tidak diajarkan menjadi bagian dalam realitas dunia yang dipenuhi ketidak-adilan (penindasan), bahkan malah diperspektifkan menurut kelas kapitalis yang dominan dan menindas kaum miskin, acuh, cuek terhadap penderitaan rakyat. Maka, sebagai kaum mahasiswa-terpelajar, kita harus benar-benar mengerti bahwa apa yang telah kita capai harus diabdikan untuk kemanusiaan, perjuangan rakyat dan membela kaum tertindas.

#La Ode Muhamad Fardan
   Cakrawalasultra.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar